Senin, 12 November 2007

Komunitas

KOMUNITAS. Yang membedakannya dengan kerumunan adalah tujuan yang akan dicapai. Kerumunan umumnya tak punya tunjuan dan satu sama lain tak saling mengenal serta tak ada ikatan emosional yang membuat mereka berkumpul.
Menurut Rizalun, seniman dari Jogja, bahwa Komunitas akan bisa lahir dengan sendirinya di satu area sosial, lingkup profesional dan sebagainya sebagai tempat untuk mengakomodir segala daya dan pikirannya.
Ikatan emosional yang kuat yang sepikiran, walaupun kadang terjadi perbedaan pikiran didalamnya, membuat hubungan sosial di suatu komunitas menjadi kuat. Namun hubungan yang bersifat sosial inilah yang membuat suatu komunitas bisa kembang kempis jika tak mampu merawatnya. Namun jika berhasil merawatnya, komunitas akan menjadi kekuatan tersendiri dalam suatu golongan. Kekuatannya bisa sangat tak terduga, karena di dalamnya terdapat orang-orang yang memegang teguh ide besar dan tujuan bersama suatu komunitasnya.
Jenjang yang lebih tinggi dari komunitas adalah organisasi. Selain ikatan sosial dan emosional, organisasi mempunyai peraturan yang ditetapkan.
Dari sebuah pertanyaan yang keluar dari Arif Wicaksono, seorang DJ yang populer dengan nama DJ Bachox’s. Bisakah sebuah komunitas menciptakan sebuah tren? Kekuatan sebuah komunitas bisa saja menghasilkan suatu trend baru. Karena pesan yang disampaikan dijalankan, kebanyakan, dengan cara dari mulut ke mulut(getok tular). Suatu proses marketing yang saat ini sedang trend karena kekuatannya pengaruhnya pada konsumen melebihi iklan-iklan media konvensional.
Lewat pernyataan sikap dan pendapatnya suatu komunitas menjadi dikenal banyak orang dan besar dengan sendirinya. Contoh yang paling hangat adalah pernyataan Roy Suryo, yang mengatasnamakan komunitas Air Putih, dimana Roy Suryo memproklamirkan diri sebagai penemu lagu asli Indonesia Raya 3 stanza. Komunitas Air Putih menjadi dikenal banyak orang, walaupun Roy Suryo sendiri mendapat ratusan pujian dan sejuta makian dan sumpah serapah dari para netter dan para geeks.
Setiap komunitas mempunyai cirinya masing-masing. Dan kita tak dapat menutup mata jika antar komunitas saling ngotot dengan argumentasinya. Memang disitulah fungsinya. Suatu hal yang tidak salling melemahkan, namun menguatkan.
Sebuah kutipan dari bukunya Pramoedya Ananta Toer (Jejak Langkah); "... Kau tak akan sanggup melawan sendiri. Lawanlah dengan organisasi/komunitas, di situ kau akan menjadi besar." Begitu kurang lebihnya.

Kutub Seni dan Komunitas yang Hilang

SEWAKTU saya bertemu teman saya di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, beberapa minggu lalu, obrolan tentang tumbuhan anthurium atau lebih dikenal dengan nama gelombang cinta yang harganya sedang ampun-apunan itu tiba-tiba bergeser ke obrolan tentang sebuah acara seni yang punya tema "Schopophilia Hiruk-Pikuk Seni Rupa" yang merupakan acara dari Jambore Seni Rupa Nasional VII yang diadakan di Pasar Seni tanggal 27 September sampai 6 Oktober 2002. Kebetulan teman saya itu juga menjadi salah satu peserta di acara itu, Saat itu dia masih tercatat sebagai mahasiswa Kedokteran Hewan UGM. Dengan menggebu-gebu dia menceritakan sedikit tentang bagaimana kehidupan seniman di masa itu, karena memang dia lebih tua beberapa tahun daripada saya.
"Acara Schopophilia itu sangat menarik." Paparnya dalam bahasa Jawa khas Jogja. "Jambore tahun itu sangat ramai, waktu itu antara seniman Jogja dan Jakarta memang ada suatu rivalitas, persaingan yang membuat kehidupan seni menjadi menarik dan dinamis. Seniman Jogja membawa kreatifitas khas Jogjanya yang dalam. Sedang seniman Jakarta khas dengan karyanya yang simpel. makanya jika ada diskusi seni akan selalu menarik dan ramai. seniman kedua kota selalu terlibat dalam argumentasi-asrgumentasi yang seru. Namun saat ini seniman Jogja tampaknya sudah mulai terseret dalam arus kesenian Jakarta. Jadi seni yang sekarang ini berkembangterasa monoton."
Pernyataan teman saya itu ternyata ditanggapi dengan manarik oleh seniman-seniman Jogja yang tergabung dalam forum Milisi (www.milisi.org) milik alumni Institut Seni Indonesia (ISI). Kebanyakan merasa tidak terima jika ada semacam “permusuhan” antara seniman Jogja dan Jakarta. Namun mereka meng-amini bahwa perbedaan dan persaingan adalah sesuatu yang perlu terus dihidupkan dalam berkesenian.
Seperti yang diungkapkan oleh Tanktermos, seorang anggota dari forum Milisi, bahwa rivalitas, pertentangan dan homogenitas dalam kesenian wajar saja.
Pendapat itu dikuatkan juga oleh Husni, anggota yang lain dalam forum itu, bahwa perbedaan dan persaingan akan selalu ada, dan selama perbedaan dan persaingan masih dalam koridor berkarya dan beradu argumen adalah hal yang wajar dan baik. Namun jika perbedaan dan persaingan mengarah pada adu jotos dan cacimaki itu sangat kekanak-kanakan dan wagu.
Namun bagi saya fenomena yang coba dipaparkan oleh teman saya yang ketemu di TIM itu saya sadari juga. Saya coba mengingat-ingat saat saya masih kuliah, orang-orang seangkatan saya dan teman-teman yang angkatannya di bawah saya yang mencoba mengabdikan diri dalam karya-karyanya sudah mengalami pola yang sama, dari cara berpakaian, belahan rambutnya, tas yang selempangkan, warna-warna pastel dan lain sebagainya. Ah, mungkin saja iya mungkin saja tidak. Itu kan proses dari perbedaan itu, maka muncullah perkembangan ini. Jadi fenomena dan buah bibir. Mungkin hanya trend mode. Mode kan juga salah satu bentu seni. Namun jika homogenitas itu benar terjadi.... Hiiii.... Betapa ngerinya!
Homogenitas benar-benar terjadi!
Tampaknya memang sedang terjadi. Silakan bayangkan kengeriannya. Jika seni punya gaya yang sama, homogen, dapat ditemui dimana-mana, maka tak perlulah berkomunitas. Toh semua seni jadi sama, tak perlu jauh-jauh lagi untuk menikmatinya apalagi mengkoleksi. Ditambah dalam era internet atau dunia maya ini, hanya dengan menggeser mouse komputer kita sudah bisa keliling dunia dari kamar kita. Menikmati Louvre atau mengikuti lelang di Christie. Komunitas-komunitas jadi surut. Mana ada yang mau bertandang lagi. Pasar Seni Ancol sepi. Galeri sepi. Pameran seni hanya ramai di awal karena pembukaannya selalu makan-makan.
-o0o-
Intinya adalah kebaruan, kalau boleh saya bilang, tapi kalau anda mau bilang lain ya silakan. Suatu perbedaan akan menumbuhkan hal baru. Entah itu kebaruan karena terinspirasi dari seni lama atau benar-benar baru. Namun dalam kebaruan yang identik dengan orisinilitas masih saja ada perdebatan di banyak seniman yang menganggap bahwa orisinalitas is bullshit! Karena tak ada hal yang baru, suatu hal baru pasti terinspirasi dari hal lain. Maka tak akan ada yang benar-benar baru. Anda mau setuju atau tidak dengan pandangan itu silakan anda sikapi masing-masing. Karena banyak sudut pandang akan menumbuhkan argumen yang berbeda-beda.
Modern menjadi posmodern. Budaya instan hasil modernitas. Adalah hasil utak-atik dari budaya lama. Dimantapkan dengan kemunculan MTV di tahun 1981 menjadikan kaum muda di era 80’ dan 90’an berpikir dengan cara yang sama. MTV mengolah segala perbedaan yang ada di dunia ini, mencampuradukkan satu sama lain. MTV menjadi kiblat bagi anak muda audiensnya. MTV punya cara yang beda dalam merangkul audiensnya. Gaya pembawa acara yang dinamai VJ (Video Jockey). Bahasa yang digunakan. Setting studionya yang warna-warni. MTV menjadi fenomena dalam dunia broadcasting.
Ah... Sudahlah tentang MTV!
Yang baru akan memunculkan hal baru, selama masih ada kutub-kutub yang berbeda. Dan setelah yang baru muncul, maka yang belakang tinggal sejarah. Sukur-sukur jadi inspirasi bagi munculnya sesuatu yang baru di masa depan.
Yang tak mengikuti?
Yang tak mengikuti hanya jadi penonton, mungkin setelah dia menjadi pemeran yang hebat di masanya. Lama kelamaan akan hilang dengan sendirinya. Atau tetap survive dengan sisa-sisa kekuatan yang ada. Atau tetap eksis dengan terjebak dalam kenangan-kenangan hebat di masa lalu. Dilupakan. Dikenangkan. Atau tetap menjadi pemeran kunci dengan hal-hal baru.



Perbincangan tentang ini
juga sedang berlangsung juga di
www.milisi.org
"Seniman; Antara Jogja dan Jakarta."

Rabu, 07 November 2007

Gambar Jorok


Ini saya gambar dengan iseng di sela-sela pekerjaan. Suatu kelakuan, jujur saja, saya semasa kecil dulu. Ternyata saya juga menemui banyak teman yang kelakuannya seperti saya dulu!!!

Dan entah mengapa, gambar ini banyak yang minta untuk dikoleksi. Dijadikan wallpaper komputer dan sebagainya. Saya pun memperbolehkannya. Termasuk kepada Anda yang juga mau mencopynya.

Apa menariknya ya gambar saya ini?
hehehe

Selasa, 06 November 2007

Sejarah Pasar Seni

Pada tahun 1975 dengan bangunan sederhana yang terletak di antara Gelanggang Samudra dan Gelanggang Renang dimulailah kegaiatan Pasar Seni yang berlangsung selama tiga hari kemudian menjadi tujuh hari setiap bulan.
Setelah terbukti bahwa Pasar Seni memiliki daya tarik yang makin meningkat baik bagi para pengunjung maupun para seniman sendiri, maka dibangunlah sebuah kompleks permanen untuk menampung kegiatan para seniman dan pengrajin tersebut. Sejak Desember 1977, setelah diresmikan oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, berpuluh – puluh seniman dan pengrajin dari seluruh pelosok tanah air secara bergilir menempati satu di antara 114 bangunan / kios di Pasar Seni. Toko – toko yang menjual berbagai macam barang dan restoran atau warung juga tersedia di Pasar Seni.

Di Area Terbuka pengunjung dapat menyaksikan acara – acara kesenian, baik tradisional maupun kontemporer, dalam suasana akrab dan santai.

Bagi para penggemar barang – barang kerajinan atau karya seni, Pasar Seni merupakan “surga” barang – barang souvenir; dari mainan yoyo sampai patung kayu, dari sketsa hingga lukisan serta barang – barang kulit, perak dan hasil kerjanin lainnya.

Dalam rangka turut menanamkan kesadaran masyarakat akan lingkugan hidup, Pasar Seni menyelenggarakan Pameran Seni Taman dan Arena Promosi serta Pameran dan Lomba Pohon Buah. Untuk menampung permintaan yang kian meningkat, Pasar Seni kini telah diperluas dengan penambahan beberapa kios lagi.

Pasar Seni I, diresmikan pada tanggal 17 Desember 1977, terus berkembang dengan pesat sehingga perlu diperluas untuk menampung berbagai kegiatan yang bersifat kreatif, edukatif maupun rekreatif.

Arena perluasan tersebut diresmikan pada tanggal 22 Agustus 1980 sebagai Pasar Seni II yang terdiri dari 97 bangunan dengan kegiatan utama berupa bengkel – bengkel, keramik, batik, ukiran, las, tenun serta kegiatan peragaan.

Sebuah bangunan berlantai dua GALERI JAYA ANCOL telah diresmikan pada tanggal 17 Februari 1984. Lantai bawah dari bangunan ini adalah sebuah “Jendela ke dunia ilmu pengetahuan”. Dengan alat – alat peraga yang tersedia diharapkan dapat merangsang minat pelajar / remaja untuk mengetahui dasar – dasar imu pengetahuan.

Sedangkan lantai atas dipergunakan untuk Ruang Pameran Seni Rupa, sebagai fasilitas bagi para Seniman untuk menggelar karyanya.

Agenda Seni

Jakarta - Jumat, 9 November 2007

Diskusi Publik dengan tema “Respon Gerakan Demokrasi Terhadap Pemilu 2009 dan Kebutuhan Pemimpin Alternatif”.

Waktu : Pukul 14.00 s/d selesai (Diakhiri dengan Prasmanan / Makan Sore)

Tempat : Aula Universitas Paramadina, Jl. Gatot Subroto

Turut mengundang sebagai Narasumber:
Rizal Ramly (Mantan Menteri Koordinator Perekonomian dan Keuangan), Agus Priyono (Salah Satu Pendiri Partai Rakyat Demokratik & Ketua Umum Partai Persatuan Pembebasan Nasional, Aristides Katoppo (Wartawan Senior & Redaksi Sinar Harapan), Bursah Zarnubi (Anggota DPR RI & Ketua Umum PBR), Hadar Gumay (Direktur Eksekutif CETRO)

________________________________________

Jakarta - Rabu, 7 November 2007

Diskusi Buku karya John Gray berjudul "Black Mass: Apocalyptic Religion and The Death of Utopia" (London: Penguin, 2007). Digelar oleh Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
(London: Penguin, 2007)

Pembicara:
- Rocky Gerung (Dept. Filsafat Universitas Indonesia)
- M. Guntur Romli (Komunitas Utan Kayu)

Pukul 14.00 - Selesai

Tempat: Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, Jl. Sawo No.11, Jakarta Pusat 10310.

__________________________________________________

Jogjakarta
, 03 Nov 2007 - 18 Nov 2007

Pameran Sketsa dan Fotografi 'MATA-MATA JOGJA': 'Menapaki Kota lewat Sketsa'

_____________________________________________


Jakarta, 1 - 30 November 07

ART SUMMIT INDONESIA V

_________________________________________

Yogyakarta, 26 - 27 November 07


Pergelaran Monolog Butet Kartaredjasa: S A R I M I N
sebuah kolaborasi bersama: Agus Noor, Pradjoto dan Djaduk Ferianto
dipentaskan dalam Art Summit V

Purna Budaya, Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, Bulaksumur, UGM, Yogyakarta
pukul 20.00

Tiket: Rp. 30.000,-/Rp. 50.000,-/Rp. 100.000,-

___________________________________________

Jakarta - 14 s/d 18 November 2007

Pergelaran Monolog Butet Kartaredjasa: S A R I M I N
sebuah kolaborasi bersama: Agus Noor, Pradjoto dan Djaduk Ferianto
dipentaskan dalam Art Summit V

Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta
pukul 20.00

Tiket: Rp. 50.000,-/ Rp. 75.000,-/ Rp.100.000,-/Rp.150.000,-

___________________________________________

Surabaya - Senin, 12 November 07

Pentas Teater "Cupak Tanah" persembahan Sanggar Banyuning (Buleleng, Bali)

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya.

Pukul 20:00 WIB

___________________________________________

Surakarta - Sabtu, 11 November 07

250 years of the Mangkunegaran Court in 2007

Theme: ONCE IN A LIFE TIME EVENT
Venue: The Mangkunegaran Court, Surakarta.
Time: 07.00 pm

Programs:
- A Cosmopolitan dinner at the Court of the Mangkunegaran
- The Amari Orchestra
- A Colossal Dance Perfomance of THE RISE OF THE MANGKUNEGARAN COURT (ADEGING PRAJA MANGKUNEGARAN) with 250- 300 dancers, elephants, horses, etc.

___________________________________________


Jakarta - Depok - Kamis, 8 November 07

FIB UI, Studi Klub Sejarah dan Komunitas Bambu mengundang Anda untuk menghadiri
Diskusi Buku "Greget Tuanku Rao" karya Basyral Hamidy Harahap

MENGUJI KEPAHLAWANAN TUANKU IMAM BONJOL & TUANKU TAMBUSAI

Tempat:
Gedung IV Ruang 4101 FIB UI Kampus UI Depok

Pembicara:
- Basyral Hamidy Harahap (Penulis buku Greget Tuanku Rao)
- Indra Jaya Piliang (Peneliti di CSIS)
- Kasijanto Sastrodinomo(Pengajar di Dept. Sejarah FIB UI)

___________________________________________

Bandung - Kamis, 8 November 07

Pentas Teater "Cupak Tanah" persembahan Sanggar Banyuning (Buleleng, Bali)
CCL - Jl. Setia Budhi No. 8 / 169 A Ledeng Bandung

Pukul 20.00 WIB

Senin, 05 November 2007

Cendol

Pagi-pagi buta Timbulsukoco sudah membuka warung cendolnya. Entah kenapa harus pagi-pagi? Lha wong yang dijual juga es cendol. Apa nggak pada pilek itu yang minum? Memang sih cendol bisa diminum tanpa es-nya, tapi rasanya kurang mantap! Tapi itulah Timbulsukoco. Selalu taat omongan orang tuanya. “Le, sudah pagi. Ayo bangun! Kerja! Nanti rejekinya dipatok ayam!” begitu orang tuanya dulu berpesan. Maka dibukalah warungnya pagi-pagi. Padahal ketemu ayam yang doyan cendol pun Timbulsukoco belum pernah bertemu, apalagi berwiraswasta jualan cendol menjadi kompetitor es cendol Timbulsukoco.Warung cendol Timbulsukoco biasa saja. Sebuah bakul pikulan menjadi cirri khasnya. Dipajang di bawah pohon randu yang rindang. Para penikmat cendolnya pun hanya cukup duduk di kursi-kursi kecil yang disediakannya. Namun begitu, cendolnya laku sangat keras. Hingga sering kehabisan kursi kecil. Maka tikar-tikar pun digelar di bawah pohon itu. Ramai sekali setiap harinya.

Cendol-nya adalah warisan turun-temurun dari orang tuanya. Bahkan kakek buyutnya sudah jualan cendol sejak jaman penjajahan dulu. Kakek Timbulsukoco bukanlah pejuang yang memegang bedil ikut mengusir penjajah Belanda, Jepang, Inggris, Amerika dan kroni-kroninya dari Indonesia. Dia hanya penjual cendol. Sekedar penghilang haus bagi para pejuang di masa itu. Banyak pejuang yang mampir atau memesan cendol dari kakek Timbulsukoco. Lalu dibawa sebagai bekal di medan perang. Cendol kakek Timbulsukoco memang enak. Enaaaaak sekali! Cendolnya asli dari beras putih. Kuahnya dari gula merah yang dimasak dengan ramuan-ramuan tertentu. Santannya dari kelapa pilihan. Para pejuang tergila-gila dengan cendol buatan kakek Timbulsukoco itu. Cendol-nya sangat terkenal hingga keluar daerah. Bahkan terkenal di telinga para penjajah. Banyak cara dilakukan penjajah untuk menghancurkan kios cendol kakek Timbulsukoco yang di bawah pohon randu itu. Karena penjajah menilai bahwa cendol kakek Timbulsukoco membantu pejuang, terutama dalam menghilangkan rasa haus.

Resep cendol kakek Timbulsukoco diwariskan turun-temurun. Hingga Timbulsukoco-lah generasi ke 7 dari keturunan kakeknya yang memproduksi cendol. Rasanya hampir tak berubah sejak kakeknya berjualan dulu. Cendol Timbulsukoco yang menempel dilidah menimbulkan citarasa tersendiri, seperti melayang-layang. Ditambah kuah manisnya menimbulkan sensasi yang luar biasa. Kini cendolnya sudah sangat terkenal. Baru dibuka pagi ini aja Kang Setro sudah malit. Stand by. Datang paling duluan ke warungnya Timbulsukoco. Tanpa perlu bilang apa-apa lagi, segelas cendol sudah tersedia di depan Kang Setro. Lalu Budhe Parti sama keponakannya yang cantik. Diikuti Pakdhe Yuki. Trus beberapa pengedara motor. Lalu beberapa mobil dengan seisi keluarga di dalamnya. Pokoknya langsung rame. Padahal masih pagi.
“Dik Parto, apa ndak kewalahan pembeli sebanyak ini kok yang ngelayani cuman sendirian?” Kata Budhe Parti sambil menyeruput es cendolnya penuh nikmat.
“Ndak Budhe. Udah biasa. Lha wong ya tiap harinya juga begini.”
“Mending cari pembantu aja mas!” Seru Kang Setro tiba-tiba.
“Ah… nggak ah! Gini aja sudah cukup. Bisa kok saya! Dulu simbah-simbah saya bisa. Malah dulu satu tangan aja bisa bawa lima mangkok cendol…!”
“Haha… kayak warung nasi Padang aja!” Timpal Lik Towir tiba-tiba.
“Iya Mbul, kalo ada tambahan pelayan kan jadi tambah enteng kerjaannya. Banyak lho Mbul ini pembelinya. Itu yang di sana itu. Yang nunggu di bawah pohon manggis itu udah setengah jam lho nunggu. Trus itu yang pake mobil itu, anaknya udah nangis-nangis dari tadi, sampe dia capek sendiri! Kalo saya sih udah dapet cendol dari tadi. Lha wong malit jhe! Tak seruput dikit-dikit biar gak cepet habis. Lha wuenak jhe!” kata Kang Setro.
“Hoooalaaahhh!” keluh Timbulsukoco.
“Dulu sih pernah saya punya. Tapi malah bikin repot! Nggak cak… cek… malah udah berapa mangkok itu yang pecah. Ya… tak berhentiin!”
“Wah cari karyawannya yang bagus donk! Yang berpendidikan! Berdedikasi terhadap dunia per-cendolan! Kalo perlu yang sarjana!” Bu Dharmi juga akhirnya ikut bicara.
“Halah… lha wong ini juga cuman jualan cendol aja lho buu… bu! Masa cari sarjana. Memang ada universitas jurusan cendol apa?” Kang Towir mengejek.
“Lho di jaman serba maju inikan gak ada salahnya sarjana jualan cendol. Kerjaan itu susah mas. Ato jadi tukang sapu aja kayak mas Towir ini?” Bu Dharmi tak mau kalah.
“Biar nyapu asal halal… hehehe…!” Jawab Kang Towir. “Gini-gini juga saya sudah punya perusahaan penyapu. Sapu saya sudah lima! Karyawan saya ada 3! Siip tho?!”
“Haissyah!”

Timbulsukoco tergopoh-gopoh membawa senampan penuh mangkok cendol. Dengan cekatan dia membagi-bagikan kepada pelanggannya lalu kembali lagi ke tempat duduknya, meracik cendol, santan dan cairan gula merah dalam mangkok-mangkok cendol.
“Tuh kan capek!”
“Udah biasa!”
“Ntar kecapean gak bisa bikin cendol lho.”
“Tenang aja, jamu pegel linu memang tok cer!”

Sudah puluhan tahun perusahaan keluarga berupa cendol ini menghidupi keluarga Timbulsukoco. Walaupun terkenal sampai kemana-mana namun warung cendol Timbulsukoco ya cuman satu-satunya itu. Dekat dengan rumahnya yang juga warisan dari kakeknya. Rumahnya juga biasa saja. Tak ada istimewanya bagi seorang pedagang cendol yang larisnya bukan main. Tiap hari dia hanya jalan kaki untuk ke “kantornya”. Tak lebih dari 100 meter dari rumahnya kok.Saran-saran seperti yang dilontarkan pelanggan-pelanggan setianya itu sudah tak mempan lagi di telinganya. Karena itu semua sudah dicobanya. Dia pernah punya pelayan yang otaknya segedhe kacang mede sampai yang pintarnya mengalahkan Albert Einstein.
“Kalo nyari karyawan diiklanin di Koran aja mas Timbulsukoco! Biar yang ndaftar banyak!”
“Ini lagi! Koran-koran! Idemu itu nggak mutu! Huuu… ramutu!”

Pernah dulu Timbulsukoco punya karyawan yang biasa saja. Tampangnya biasa. Gayanya biasa. Hidupnya biasa. Karyawan yang biasa saja gampang disuruh. Gak pernah melawan. Dan selalu nurut. Namun ternyata Timbulsukoco nggak betah sama karyawan macam itu. Jadi tak ada yang spesial. Sama saja dengan yan lain. Malah dengan pelayan semacam itu pembelinya pernah mandeg, alias berhenti di empat puluh sembilan ribu tiga ratus tujuh puluh satu orang perhari!

Timbulsukoco juga pernah hampir suka dengan karyawannya yang sarjana. Lulusan Universitas negeri terkenal di negeri ini. Fresh graduate dari sekolah magister di Perancis. Suka ikut seminar dan pelatihan berbagai macam kegiatan. Tapi Timbulsukoco malah gak betah sampai tiga hari bersama karyawannya yang punya intelektual tinggi itu. Kenapa? Apa-apa selalu dihubungkan dengan teori-teori dalam buku yang penah dibacanya. Sebagian waktu kerjanya malah dihabiskan untuk berteori.

Pegawai yang bandel pun Timbulsukoco pernah merasakannya. Sarjana juga sih. Tapi pas-pasan. Nilainnya pas-pasan. Uangnya pas-pasan. Tampangnya pas-pasan. Cumlaude pun tidak. Apalagi magna cumlaude.Tetapi bandelnya minta ampun. Cara melayani pembeli juga nyentrik. Sambil jungkir balik dan berakrobat! Lain dari yang lain. Walhasil para pengunjung senang bukan main. Makin banyak pengunjung yang datang membeli karena pelayanan yang tak menjemukan itu. Tapi, Timbulsukoco benci dengan gayanya. Walaupun pengunjung jadi semakin banyak, dia tak mau tahu. Dia khawatir banyaknya pengunjung itu hanya sementara. Dan kelakukan pegawainya itu malah akan merusak warungnya saja. Apalagi dia suka mengkritik cara melayani si Timbulsukoco yang dinilai kadaluwarsa. DIPECATLAH dia!

Mending begini saja. Sendiri melayani pembeli. Dulu kakek bisa kok. Malah pembelinya lebih banyak.Belakangan dia menyesal. Pegawai bandel yang dipecatnya ternyata membuka warung cingcau. Cingcaunya enak. Enaaaakkkk sekali. Rasanya bagai melayang melewati langit ketujuh. Maka banyak juga pembelinya. Malah cingcau bikinan pegawai bandel itu sudah menjadi franchise yang gerainya meliputi seratus delapan puluh empat Negara di dunia. Termasuk Amerika Serikat!

Cingcau itu menjadi trend dunia. Mengalahkan restoran siap saji macam Mc Donald. Makan cingcau menjadi trend anak muda yang mendunia. Lebih keren makan cingcau daripada makan hamburger di Mc Donald. Semua hal di inspirasi oleh cingcau-nya pegawai bandel Timbulsukoco itu. Di Milan, Italia, trend mode pun didominsai oleh warna hijau cingcau. Bahkan pemerintah Perancis rela mengecat menara Eiffel dan Arc de Triomphe menjadi hijau cingcau. Amerika pun tak mau kalah. Dia membikin film Spiderman dengan musuh utamanya adalah monster cingcau.

“Dik Timbulsukoco, katanya pegawai dhik Timbulsukoco yang… adhuh namanya lupa aku… pokoknya yang nyentrik itu lho… yang dulu dipecat sama dik Timbulsukoco di depan pembeli… siapa ya?”
“Yang mana Budhe Parti?”
“Halaahh… kok lupa aku? Itu lhooo….”“Oh yang itu… adhuh aku juga lupa…”
“Ash… pokoknya itulah… denger-denger dia sekarang sukses jadi direktur perusahaan besar lho.”
“Oooo…”
“Iya dik Timbulsukoco. Itu lho perusahaan es cingcau WENAK!”
“Lhoh… cingcau WENAK itu punyaan itu tho… sapa namanya? Halah lupa aku!” Seru Kang Setro.
“Iya Kang.” Jawab Budhe Parti.
“Malah dia juga buka warung cingcaunya sampae Amerika!”
“AMERIKA?!”
“Ya pantes aja… enak sih cingcaunya. Saya dulu pernah makan cingcau di WENAK itu. Bayangin! Saya nabung seminggu nggak makan siang cuma buat mau makan cingcau WENAK itu!”
“Lhoh sama… sekarang saya juga lagi nabung, saya sampai lembur nyapu biar bisa makan es cingcau WENAK!”
“Eh… ngomong-ngomong cingcau WENAK mau buka yang baru lho… itu deket hotel yang tanahnya dulu punyanya mbah Sukerto!”
“Ah masa?”
“Ah iya?”
“Ah.. syiiikkk!”

Timbulsukoco sibuk kesana-kemari melayani pembelinya. Dia tak tertarik membicarakan bekas karyawannya yang dulu dipecatnya. Bikin sakit hati! Dasar pegawai tengil!

***

Pagi seperti biasanya Timbulsukoco membuka warungnya. Sebelumnya dia memandangi sebuah poster berwarna hijau yang tertempel di pohon randu tempat biasa dia membuka warung. Poster iklan es cingcau WENAK yang terkenal ke seantero dunia. Sudah dua bulan cingcau WENAK berdiri. Gerainya besar magrong-magrong. Papan namanya dengan simbol huruf “W” pun sampai kelihatan dari warung cendol Timbulsukoco.

Cingcau WENAK tiap harinya tak pernah sepi. Tempatnya bersih. Pelayanannya lain dari yang lain. Cepat dan sangat nyentrik. Bahkan ada yang berakrobat. Membawa gelas-gelas penuh cingcau sambil berjungkir balik. Bahkan ada yang memakai skateboard. Ada juga yang sambil bergelantungan seperti Tarzan. Semua pembeli pun sangat terhibur dan senang. Yang datang kebanyakan menggunakan mobil. Parkirnya pun gratis. Namun karena terlalu banyak pengunjung maka mobil yang parkir pun sampai kemana-mana. Tapi jangan kuatir. Parkir di luar area cingcau WENAK masih tetap aman kok. Karena pihak perusahaan WENAK.corp memperbolehkan para penduduk setempat membuka parkiran. Selain itu para penduduk mendapatkan pemasukan. Ditambah lagi setiap cingcau WENAK akan tutup, selalu membagi-bagikan cingcau pada para tukang parkir itu. Para tuKang parkir pun senang bukan kepalang. Sangat senang mendapat cingcau WENAK dengan gratis. Ada yang memakannya pelan-pelan. Bahkan ada yang diawetkan dan dipajang di ruang tamu rumahnya.

Dibukanya warung cendolnya dengan langkah malas. Pekerjaan Timbulsukoco memang agak lega. Tak banyak pembeli dalam dua bulan terakhir ini. Tapi masih ada saja orang yang datang. Tak seramai dulu. Sekarang kursi-kursi kecil tak sering kehabisan. Malah sering tersisa. Tapi paling tidak Kang Setro masih sering mampir tiap pagi ke warungnya. Kang Towir sudah agak jarang, mungkin seminggu sekali saja. Katanya uangnya buat ditabung untuk membeli es cingcau WENAK. Timbulsukoco jadi tak lagi repot. Malah dia sering ketiduran atau tidur-tidur ayam menunggu pembeli. Budhe Parti juga sudah tidak terlihat, keponakannya lebih senang cingcau WENAK, karena kemasannya bisa dikoleksi dan buat mejeng bersama teman-teman sekolahnya.
“Enak ya Mbul ya! Sekarang kalo mau minum cendolmu nggak perlu lama-lama antri lagi.”
“Yaaa.. begitulah… Hooaaaahem.”
“Lho Mbul… itu kan iklannya cingcau WENAK kan?! Wahhh… bagus ya… liat kertasnya kinclong.”
“Yaaa… begitulah.”
Kang Setro sambil berdiri menghampiri poster itu. “Mbul… Mbul… bagus ini! Ini iklannya buat saya ya! Mau tak pigura! Tak pajang di ruang tamuku! Boleh ya Mbul? Wah pasti kamar tamuku jadi tambah ngantheng! Ato ini sengaja kamu pajang di sini Mbul?”
“Yaaa… ambil aja!”
“Aseeekkk….!” Kang Setro melepas poster itu dari pohon dengan hati-hati agar tidak sobek. Tapi walaupun sudah hati-hati tetap masih saja ada yang sedikit sobek di beberapa tempat, Kang Setro tetap sumringah menatap poster “miliknya” itu.
“Mbul… Mbul…” sambil menggulung posternya. Kok es cendolmu ini nggak masang iklan kayak es cingcau WENAK itu tho Mbul
Halah… ngapain Kang?! Gini aja udah rame kok! Ngabis-ngabisin uang aja! Orang juga udah tau kok gimana kualitas dan enaknya cendol warisan mbah buyut saya ini.”
“Lhooo… biar kayak ini. Cingcau WENAK!”
“Kang… saya ini buka warung cendol udah lama Kang! Puluhan tahun! Bahkan sejak kakek buyut saja yang jaman VOC itu! Apalagi cendol saya ini udah kondang. Saben hari juga banyak yang datang.”
“Lha ini… kok sepi?”
“Yaa… ya… lagi sepi aja. Besok kan rame lagi. Mungkin mereka lagi bosen. Kan orang butuh istirahat to Kang. Refreshing. Haa… ini refreshing lidah!”
“Na itu! Bosan! Para pembelimu bosan! Itu-ituuu aja!”
“Lha emang itu-itu aja! Orang yang tak jual cuman cendol! Mau diapain? Cendol ya cendol. Bentuknya yang kayak gitu-itu sejak jaman Belanda!”
“Weeee… saya dulu seneng lho waktu kamu itu ganti mangkok. Dari gelasmu yang udah kuotornya minta ampun itu. Malah pada cuil-cuil. Pindah ke mangkok putih ini… lho… yang ada gambar ayamnya. Jadi lebih nikmat!”
“Ya.. kan gelas-gelas itu emang udah usang. Perlu diganti. Makanya ganti yang baru! Ya mangkok itu! Bereskan!”
“Beres! Tapi ngomong-ngomong Mbul ya… maaf lho ini… sorry… menurut saya ya Mbul… tapi… maaf lagi lho ini… anu Mbul. Kan… anu…”
“Ona… anu… ona… anu apa to Kang?”
“Anu… kan … maaf lho ini… sorry… kan buka warung cendol ini kan udah lama. Sejak jaman penjajahan. Kok… anu…”
“Apasih?”
“Anu Mbul… kok warungnya cuman gini-gini aja? Di siniii terus… ya… begini-begini aja.”
“Kang…. Begini aja udah banyak yang datang. Untung besar! Mau apa lagi? Nanti kalo tak gedhein dikira kemaruk!”
“Lha itu… cingcau WENAK?! Baru tiga tahun aja udah buka cabang sampai Amerika!”

***

Cingcau WENAK semakin laris saja. Sedang cendol Timbulsukoco makin merana di bawah pohon randu. Banyak juga yang parkir di depan warung Timbulsukoco. Mobil-mobil mewah. Tapi itu karena lahan parkir yang paling dekat dengan cingcau WENAK sudah habis. Maka mereka pun sampai memarkir mobilnya di depan warung Timbulsukoco.Timbulsukoco hanya memandang mobil-mobil yang nebeng parkir di depan warungnya. Pengunjungnya sekarang bisa dihitung dengan jari. Cendolnya memang masih enak. Masih terkenal. Tapi ketenarannya sudah tertutup oleh ketenaran cingcau WENAK. Hanya orang yang kebetulan masih ingat saja menyempatkan mampir. Pernah Timbulsukoco memberi diskon sampai 70% barang dagangannya. Cara itu memang berhasil namun hanya sesaat. Sesudah itu…

Omongan Kang Setro mulai menjadi pikiran bagi Timbulsukoco. Mungkin ada benarnya. Timbulsukoco terlalu terjebak dalam sejarah sukses masa lalu cendolnya. Terjebak dalam euforia-euforia yang sudah tidak njamani lagi di jaman ini. Cara masa lalu kakek buyutnya masih saja dibawa di jaman yang serba cepat ini. Timbulsukoco sadar bahwa dia termasuk kaum nostalgik yang menganggap masa lalu adalah kehidupan ideal, menganggap masa ini adalah hidupnya dan masa depan adalah hal yang aneh. Hingga akhirnya warung Timbulsukoco semakin sepi. Terus merugi. Hidupnya lambat laun mulai susut. Semuanya di ujung tanduk. Cendol paling enak di dunia rintisan kakek buyut yang dulu banyak membantu pejuang itu sedang diujung tanduk. Menunggu mati.

Cendolnya memang enak. Tapi dia lupa mengkomunikasikannya pada masyarakat. Cendolnya sehat, asli dari bahan alami. Tapi dia lupa untuk merawat konsumennya. Cendolnya yang enak sudah bertahan bertahun-tahun. Tapi dia lupa bahwa suatu saat ada orang lain yang mengikuti jejaknya untuk menjadi kompetitor. Dia lupa untuk merawat mereknya. Dia malas. Sangat malas. Penakut. Takut sekali akan hal baru. Produknya hanya cendol. Tak pernah berubah sejak dulu. Hingga konsumen bosan dan meninggalkannya.

***

Pohon-pohon cingcau milik tetangga Timbulsukoco semakin subur. Belakangan banyak tetangganya menanam pohon cingcau. Kualitasnya pun bagus. Daunnya sehat-sehat dan hijau. Ini tak lepas dari pemilik WENAK.corp untuk memberi pelatihan bagi penduduk sekitar gerai untuk menanam cingcau sebagai pemasukan bagi kehidupan masyarakat sekitar. Pelatihan yang diberikan bermacam-macam. Semuanya berhubungan dengan cingcau. Bagaimana memilih bibit yang baik. Memupuk. Lahan tanam. Dan sebagainya.Cingcau di daerah Timbulsukoco pun melimpah. Dengan kualitas yang bagus dan melimpah, maka harga menjadi murah. Selalu saja habis dibeli oleh perusahaan WENAK.corp untuk menyupali gerai-gerai yang lain. Masyarakat mulai terangkat tingkat perekonomiannya. Hanya satu yang makin terpuruk.

***

Pemilik WENAK.corp mendengar kisah Timbulsukoco. Mantan majikannya itu tenggelam dalam kemiskinan yang tak terbayangkan. Bagaimana tidak? Hidupnya sangat tergantung dengan cendol. Cendol adalah gantungan hidupnya. Cendollah yang menghidupi anak istrinya. Kini cendolnya merana menunggu mati. Jika benar mati, maka matilah Timbulsukoco.WENAK.corp menawarkan bantuan pada warung Timbulsukoco. Subsidi bermacam barang dan uang pun mengalir. Bahkan warung cendol Timbulsukoco dipasok cingcau dari WENAK.corp. Sebagai rasa terimaksih, kata pemilik gerai cingcau terbesar sedunia itu. Kalau dulu dia pernah menjadi karyawan di warung Timbulsukoco. Di warung Timbulsukocolah dia banyak belajar. WENAK.corp tak pernah memberitahu pada konsumen bahwa cingcau yang enak itu juga dipasok ke warung Timbulsukoco.

Warung Timbulsukoco mulai kembali naik pamornya. Kini ada cingcau yang rasanya sama seperti di gerai WENAK. Harganya murah lagi. Di warung Timbulsukoco sangat murah. Rasanya sama. Hanya saja tak memakai kemasan yang membuat prestisius seperti milik gerai WENAK. Kehidupannya mulai membaik. Tak lupa di rumahnya dia juga menanam pohon cingcau kualitas terbaik. Sekarang warung Timbulsukoco juga beriklan. Tentu saja dibantu oleh WENAK.corp. bahkan WENAK.corp menawarkan diri untuk mengelola cendol Timbulsukoco agar menjadi lebih besar. Timbulsukoco tinggal duduk di rumah saja, menanti uang yang terus mengalir seperti air.

Kini cendol Timbulsukoco menjadi milik WENAK.corp. Dipertahankan ciri cendol Timbulsukoco yang berada di bawah rindanganya pohon Randu dengan angin semilir yang membauai. Kini setiap gerai WENAK di seluruh dunia dilengkapi pohon randu. Cingcau WENAK kini punya varian baru yang tak kalah nikmatnya. Tak perlu susah untuk menemukan gerai-gerai WENAK. Huruf “W” yang menjadi logo perusahaan itu sudah sangat terkenal di mana-mana. Lebih terkenal dari pulau Bali. Jika Anda kebetulan melewati gerai WENAK. Cobalah untuk mampir. Nikmati rasa baru dari WENAK; Randu Cendol namanya. Sudah terkenal kenikmatannya dimana-mana.



Dhanan Arditya