Senin, 03 Agustus 2009

(in Memoriam) Mbah Surip: “Gelandangan” Itu Kini Jadi Milyader

Oleh aljauhari
diambil dari Kompasiana


Selamat Jalan dan Hati-hati ya Mbah Surip
I Love You Full....
Ha.. Ha.. Ha..


Saya akrab dengan sosok Mbah Surip sejak tahun 1988. Waktu itu ia banyak tinggal di Pasar Seni Ancol. Dari dulu, rambutnya sudah gimbal. Kemana-mana pegang gitar ‘mainan anak’ (cukolele) buatan sendiri. Tiap ketemu kawan, dia menyanyikan lagu yang itu-itu saja. Siapa sangka lagu-lagu tersebut kini sangat populer setelah jadi album.

Saya masih ingat, Mbah Surip sering menyanyikan lagu ‘tak gendong’ dan ‘bangun pagi’ di depan teras show room kami di Pasar Seni Blok F1 (dulu pusat patung dan ukiran kayu milik keluarga kami). Ia akrab dengan kakak saya, Mas Sidik Al Amien (alm). Biasanya ia datang ke show room saat jam makan siang. Kalau sudah begitu, Mas Sidik mengajak dia makan siang di warung ‘Si Eneng’ di samping show room.

Kata Mas Sidik, meski hidup susah (baca: menggelandang), Mbah Surip pantang meminta-minta. Meski lapar, dia tidak akan minta ditraktir. Tapi tidak akan menolak bila diajak makan. “Makanya jangan heran bila dia ke sini pas jam-jam makan. Kalau gak ada saya, ajak aja makan di warung sebelah,” pesan Mas Sidik suatu hari.

Di pasar seni ancol, Mbah Surip sering makan kalau ada kawan akrab, atau kenalan sedang makan (karena ditraktir). Saya yakin, untuk itu dia tidak musti minta ditraktir. Meski penampilannya ‘nyleneh’, ia sangat dihargai orang se komunitas seniman dan pengusaha Pasar Seni Ancol.

Hal lain yang saya ingat di masa itu, Mbah Surip sering diajak tampil bareng oleh musikus-musikus ternama di Tanah Air ini. Iwan Fals misalnya, saat manggung di Pasar Seni Ancol sering meminta Mbah Surip mendampinginya. Demikian juga Iyek (Ahmad Albar). Kalau Godbless atau Gong 2000 mentas, selalu saja meminta dukungan Mbah Surip. Kalau sudah begitu, baik Iwan Fals dan Ahmad Albar justru justru malah larut dengan gaya musik Mbah Surip. Hebatnya, kedua musisi senior itu selalu bisa mengikuti arah lirik lagu Mbah Surip. Padahal, Mbah Surip menyanyi dengan nada dan lirik lagu mereka dengan gaya khasnya yang seperti orang kesurupan.

Sungguh, sulit membayangkan Mbah Surip mampu membius jutaan orang dengan lagu-lagu ‘alakadarnya’ itu, sekarang. Jutaan orang seolah terlena dengan lagu ‘Tak Gendong’ dan ‘Bangun Pagi’, meski dengan nada dan lirik gak jelas seperti itu. Dan siapa nyana bila Mbah Surip, berbekal lagu-lagunya itu, kini berubah jadi milyader. Dapat penghasilan dari kontrak senilai jutaan dan bonus rumah 2 milyar serta mobil ratusan juta. Waow Mbah Surip, semoga sukses selalu!!!

Minggu, 26 Juli 2009

“The RUNNING STARS”, Menghargai Penghargaan Seni

Pameran Lukisan
North Art Space
7 - 31 Agustus 2009


Dalam pameran “The Running Stars” yang menawarkan serentang bintang seni lukis Indonesia ini kita berjumpa dengan lukisan-lukisan para juara berbagai kompetisi seni lukis. Yakni kompetisi yang diadakan di bawah bendera Golden Palette Art Awards 2005, JAA (Jakarta Art Awards) 2006 serta JAA 2008. Ketiga kompetisi ini diadakan oleh Pasar Seni Ancol dan Pemerintah DKI Jakarta. Apabila JAA merupakan kompetisi yang bersifat nasional, maka Golden Palette Art Awards hanya untuk para pelukis di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.

Pameran ini menjadi penting jika ditilik betapa para juara itu lahir dari sejumlah kompetisi yang ketat. Bayangkan, pada JAA 2006 misalnya, pelukis yang berpartisipasi sebanyak 1197, dengan karya yang diikutkan lebih dari 3200. Pada JAA 2008 ada 941 pelukis yang ikut dengan 3456 lukisan. Menjadi pemenang di antara begitu banyak kompetitor, tentu merupakan prestasi yang luar biasa.

Dengan menghitung para pelukis yang berhasil menjadi pemenang utama serta pemenang dengan predikat “penghargaan khusus”, ketiga ajang kompetisi di atas menghasilkan 30 juara. Kami menyadari untuk menggelar secara serentak karya 30 pelukis terbaik itu tidaklah mungkin, karena North Art Space, tempat pameran ini digelar, memiliki keterbatasan ruang. Oleh karena itu Panitia lalu memilih 14 di antaranya, dengan harapan selebihnya akan ditampilkan pada kesempatan berikutnya.

Maka dalam pameran ini kita segera berjumpa dengan lukisan Suraji (Yogyakarta), Boyke Aditya Krishna (Yogyakarta), Cubung Wasono Putro (Jakarta), Cucu Ruchyat (Bandung), Dwijo Widiyono (Bekasi), Edi Sunaryo (Yogyakarta), Hanafi (Depok), I Ketut Sadia (Bali), Melodia (Yogyakarta), Noer Dhami (Demak), Paul Hendro (Jakarta), Sapto Sugiyo Utomo (Klaten), Teguh Wiyatno (Yogyakarta).

Meski sejak awal telah menegaskan gaya karyanya secara kuat, dalam pameran ini sebagian dari mereka melakukan sejumlah perubahan. Namun perubahan yang mengindikasikan perkembangan itu tetap merengkuh karakter yang sejak semula menjadi ciri eksistensinya. Sehingga kita tetap melihat karya mereka sebagai manifestasi sang juara, seperti yang sudah kita kenal beberapa waktu lalu.

Suraji tetap dengan kritik sosialnya yang sinis namun sangat estetik. Boyke dengan kekuatan dekoratif surealis yang begitu halus dan belum ada duanya di Indonesia. Cubung dengan fantasinya yang liar serta persepsinya yang ganjil atas kehidupan kota besar. Cucu Ruchyat dengan figur-figur komikal yang dipresentasikan lewat perfeksi teknik menakjubkan. Dwijo Widiyono dengan ungkapan bentuk yang bergesek antara realitas dan abstraksi, di atas warna-warna beraroma Jawa. Edi Sunaryo dengan kekuatan fantasi yang sanggup mempuitisasi benda-benda, disertai kelembutan pengerjaan amat mempesona. Hanafi dengan presentasi abstrak yang elok serta memancing imajinasi. Ketut Sadia dengan kebebasan mengolah ciri tradisional Bali khas Batuan lewat tema-tema sosial yang aktual.

Lalu Melodia dengan satir-satir kemasyarakatan yang disampaikan secara unik lewat potensi potretiknya yang liat. Noerdhami dengan hasratnya untuk terus mengolah elemen gambar dami sebagai ciri karyanya. Paul Hendro yang mengangkat sisi kehidupan masyarakat urban dengan bahasa surealis. Sapto Sugiyo Utomo dengan sensibilitasnya dalam menangkap benda sederhana sebagai materi narasi, lewat kemampuannya melukis super-realis. Teguh Wiyatno merekam dan merangkum peristiwa dalam kekuatan gambar yang digubah oleh kekuatan melukis cat air.

Kita tahu, pada saat ini para pelukis terbaik di atas sedang menjadi bagian yang sangat terhargai di tengah masyarakat seni rupa Indonesia dan internasional. Namanya selalu dijumput dan diposisikan sebagai bendera nilai di berbagai pameran. Manifestasinya diwacanakan, dan wacana karyanya dibicarakan. Sementara itu, sebagai dampaknya, dalam dunia komodifikasi seni di aneka galeri dan biro lelang karya-karya mereka mencatatkan angka-angka terhormat.

Pameran ini akan menyadarkan kita bahwa sebuah kompetisi bisa hadir begitu penting ketika para juara dari kompetisi itu akhirnya memberikan aksentuasi dalam percaturan seni di tengah masyarakatnya. Dengan menyadari nilai-nilai penting sebuah kompetisi, kita lalu mengingat, sesungguhnya betapa minim iklim kompetisi seni rupa yang ada di Indonesia. Untuk itu tiada salahnya apabila wacana kemiskinan kompetisi ini, yang membawa minimnya penghargaan seni, ditegaskan lewat alinea-alinea di bawah ini. Lewat beberapa contoh kejadian, lewat beberapa catatan kesejarahan.

Mencari catatan reputasi.
Syahdan pada suatu kali panitia pameran The Best of Asia berkehendak memamerkan 80 lukisan buah cipta pelukis-pelukis Indonesia. Lukisan tersebut akan digelar di Changi Airport, bandar udara Singapura yang dikunjungi hampir 2 juta orang per bulannya itu. Salah satu syarat yang diminta panitia adalah, kurator harus mengajukan pelukis yang telah mengantongi sejumlah penghargaan penting dalam 5 tahun terakhir. Makin banyak penghargaan, semakin baik.

Persyaratan ini tentu merupakan sesuatu yang lumrah. Itu sebabnya institusi pameran di Tiongkok, Taiwan, Australia, Prancis, Itali, Jepang, Korea Selatan sampai Kuba juga meminta hal yang sama. Daftar penghargaan bagi panitia internasional merupakan tahap awal pemantauan kredibilitas seniman yang disertakan. Tanpa itu, keabsahan dan kepiawaian seniman memang lantas gampang diragukan.

Tapi persyaratan tersebut bagi kurator seni lukis (rupa) Indonesia, sungguhlah pekerjaan sulit. Sebabnya adalah karena tradisi memberi penghargaan di sini belum ada. Dan dengan begitu, frekuensi hadirnya penghargaan atau hadiah juga sangatlah jarang. Walaupun dunia seni rupa kita, terutama seni lukis, memiliki potensi yang amat besar untuk selalu dianugerahi penghargaan-penghargaan yang termaksud.

Apa sebab seni rupa Indonesia sangat pelit penghargaan, faktornya perlu ditelusuk dalam-dalam. Namun penyebab utamanya adalah berkait dengan mentalitas orang-orang yang seyogyanya memberikan penghargaan. Faktor feodalitas, bahwa yang punya posisi (tua, ternama, senior, berpangkat, established) sebagai satu-satunya insan yang harus disanjung dan dihormati, adalah bagian dari hambatan munculnya hadiah-hadiah seni itu. Ini mirip dengan ketidaksediaan mereka dalam menerima kritik. Kerendah-hatian dan kebesaran jiwa yang menjadi modal nyata tersisih setelah dirangsek oleh sifat yang tak mau kalah.

Sifat feodalisme demikian memang tidak membawa seseorang ke wilayah hati yang mau terbuka, dan sudi mencermati karya-karya seniman yang secara hirarkis dianggap berada di bawahnya. Apresiasi dan toleransi pun lantas macet. Minat untuk memberikan hadiah seni pun lalu amat berat untuk muncul.

Sebagai ilustrasi, pada tahun 1990-an kantor kesenian milik pemerintah Indonesia mendapat surat menarik dari sebuah lembaga seni rupa internasional. Surat formal itu berupa tawaran untuk memilih perupa muda Indonesia yang berprestasi, guna dicalonkan mendapat “penghargaan seni rupa Asia”, dengan hadiah uang sebesar 20 ribu dollar. Sebagaimana biasanya, Direktur Kesenian meminta saran kepada sejumlah perupa senior Indonesia ihwal sistem pemilihan perupa muda berprestasi itu.

Hasil dari sumbang saran yang ditampung ternyata mengecewakan. Sebab sebagian perupa senior justru “menolak” tawaran hadiah tersebut. Salah satu alasannya adalah : jumlah hadiahnya terlalu besar untuk seorang perupa muda. Perbandingannya, kata para perupa senior itu, hadiah biennale seni lukis Dewan Kesenian Jakarta (untuk pelukis senior) saja cuma sepersepuluhnya.

Untung lembaga dari Departemen P dan K ini jalan terus, meski akhirnya pencalonan tersebut menjadi terlambat. Dan nama pelukis muda Indonesia didiskualifikasi.

Sementara itu difahami bahwa sebuah hadiah untuk karya seni rupa sesungguhnya adalah tidak perlu diukur dari bentuk materinya. Namun dari isinya, hasratnya untuk menjunjung, mengakui dan mengesahkan. Karenanya, cukup tak masuk akal apabila ada lembaga yang enggan memberikan penghargaan kepada sebuah prestasi hanya karena alasan : tidak ada dana.

Hanya dua.
Di Indonesia kini hanya ada 2 kepanitiaan yang berkenan memberikan penghargaan kepada para perupa. Yakni Jakarta Art Awards yang sudah berlangsung 2 kali, tahun 2006 dan 2008, yang merupakan kelanjutan dari Golden Palette 2005. Penghargaan kompetititif ini digagas oleh Pasar Seni Ancol dengan dukungan Pemerintah DKI Jakarta, yang notabene Gubernur Fauzi Bowo. Lalu Indonesia Art Awards, yang juga diberikan 2 tahun sekali oleh Yayasan Seni Rupa Indonesia, sebagai titisan dari Indonesia Philip Morris Art Awards.

Pada tingkat perguruan sangat sedikit yang rutin memberikan hadiah seni rupa, yakni panitia Pratisara Affandi Adi Karya, di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Dan kadang-kadang Institut Kesenian Jakarta juga membagikan. Hadiah ini diberikan setelah melewati sebuah kompetisi dalam forum pameran. Tradisi penghargaan prestasi ini setidaknya meneruskan Wendy Sorensen Memorial Award dari New York yang diberikan untuk mahasiswa seni rupa Indonesia yang memiliki reputasi bagus, dan berada di kubah perguruan ASRI Yogyakarta dan ITB Seni Rupa Bandung. Sekali waktu Sanggar Dewata juga memberikan penghargaan kepada perupa yang dianggap memiliki kontribusi seni signifikan.

Indonesia memang sangat irit untuk pengeluarkan pengakuan atas reputasi para perupanya sendiri. Padahal sejumlah institusi telah berusaha memberikan contoh menarik. Jauh ke belakang, Bataviasche Kunstkring (Lingkaran Seni Batavia) pada tahun 1930-an telah memberikan penghormatan kepada karya-karya lukis terbaik, lewat pagelaran bondcollectie, atau pameran karya pelukis yang dikumpulkan dari aneka kunstkring berbagai daerah. Keimin Bunda Sidhoso, atau pusat kebudayaan era Jepang 1942-1945, juga memberikan banyak hadiah kepada lukisan terbaik karya seniman-seniman Indonesia.

Setelah terputus puluhan tahun, pada kurun 1974 Dewan Kesenian Jakarta mulai memberikan penghargaan kepada para pelukis yang ikut dalam Biennale Seni Lukis Indonesia di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Meski pada tahun 1990-an tradisi ini serta merta berhenti.

Lebih dari 30 tahun silam The Society for American Indonesian Friendship memberikan hadiah kepada para perupa yang mempunyai dedikasi dan reputasi menawan. Hal ini lantas diikuti oleh Yayasan Adam Malik, yang sekali-sekali memberikan penghargaan kepada figur dunia seni rupa yang memiliki bobot. Dewan Kesenian Jakarta memberikan hadiah kepada seni lukis terbaik lewat acara Biennale Seni Lukis Indonesia. Kita juga sempat mengingat, tahun 1990-an pernah sekali waktu McDonald serta Nokia memberikan McDonald Art Awards dan Nokia Art Awards. Dan pada 2002 serta 2003 digelar kompetisi seni lukis nasional Indofood Art Awards yang diprakarsai CEO progresif Eva Rianti Hutapea. Tapi perhelatan yang sedikit itu kini nampaknya hanya merupakan catatan masa manis belaka, lantaran semuanya tidak lagi berlanjut.

Realitas ini amat berbeda dengan yang terjadi di mancanegara, yang menjadikan pemberian penghargaan sebagai tradisi. Sehingga seorang pelukis muda semacam Stephen Yao, kelahiran 1960, bisa mengantungi belasan penghargaan dari negerinya Hongkong. Pelukis senior Amerika (alm) Dong Kingman mempunyai 75 penghargaan prestisius selama hidupnya. Para perupa muda berprestasi Singapura, disemati medali dalam setiap tahun lewat sebuah (iklim) kompetisi. Pelukis Berber dari Bosnia punya tak kurang dari 30 penghargaan seni dari eks Yugoslavia dan sekitarnya. Begitu pula pelukis Edo Murtic dari Kroasia, yang di Indonesia tak terlalu terkenal, penghargaan resminya tak dapat ditaruh dalam sebuah halaman katalogus. Jangan kata yang terjadi pada para pelukis Tiongkok.

Di Perancis, iklim kompetisi seni rupa bisa berlangsung puluhan kali dalam setahun. Persis seperti musim pertandingan sepak bola yang gemuruh itu. Begitu juga di Jepang. Bahkan di negeri ini setiap kompetisi internasional selalu menyediakan hadiah khusus bagi para perupa Jepang. Sehingga, apabila ada pelukis asing yang memenangkan kompetisi, Jepang juga mengangkat pelukis Jepang sebagai pemenang pendamping. Realitas aktual akan hal ini bisa dilihat pada kompetisi seni rupa di Beppu, yang sering diikuti oleh perupa Indonesia.

Lantaran itu, perupa sekualitas Sunaryo dan Dede Eri Supria paling-paling mempunyai 7 penghargaan penting dalam 25 tahun terakhir. Itu pun sebagian datang dari luar negeri, yang dengan susah payah diupayakan oleh pelukisnya sendiri. Bahkan seniman berdedikasi tinggi seperti Basoeki Abdullah, Sudjana Kerton, Hendra Gunawan, Dullah, Lee Man-Fong amat jarang atau belum disentuh penghargaan, sampai semua sudah tutup usia.

Menghargai penghargaan.
Yang unik, di Indonesia tak hanya tradisi memberikan hadiah yang tidak ada. Tradisi menghargai hadiah juga sangatlah kurang. Pada tahun 1985 Doyo Prawito yang mengantungi belasan hadiah dari Eropa Barat, ditolak pameran di Taman Ismail Marzuki. Alasannya, kredibilitas Doyo Prawito masih dianggap kurang, karena belum memiliki penghargaan dari Indonesia. Pun ketika ia menunjukkan salah satu tropi yang direnggutnya, Oscar di Montecarlo, hadiah prestisius yang juga pernah diberikan kepada Marc Chagall, Salvador Dali, sutradara Carlo Ponti, bintang film Alain Delon.

Barangkali sekarang sudah saatnya mentalitas untuk memberikan penghargaan dan menghargai penghargaan ditumbuhkan. Kini tiba waktunya dibentuk institusi penilai, entah itu dari museum, pendidikan tinggi, galeri, lembaga pemerintah atau forum seni rupa lainnya. Kemauan memberikan hadiah seni, baik untuk lingkup akademi, profesional yunior, senior, kampiun, dengan berbagai kategorisasi, layak ditradisikan.

Semakin banyak semakin baik. Dan selama semuanya tetap bersandar kepada kritera obyektif, sehingga yang diputuskan bukan rekayasa klik, kelompok atau golongan tertentu, tradisi ini akan menghangatkan iklim. Dan iklim akan menstimulasi munculnya motivasi-motivasi baru dalam berkarya. Dampak lanjut dari segalanya adalah : memudahkan internasionalisasi karya-karya seni rupa kita.

Pameran “The Running Stars” ini adalah upaya Pasar Seni Ancol dan North Art Space untuk menghargai penghargaan yang sudah dicapai oleh para perupa. Karena bagi para perupa, penghargaan adalah tanda-tanda pencapaian hidup yang akan terus disimpan dalam dokumentasi keluarga dalam sepanjang hayat. Sementara bagi publik, penghargaan yang dimiliki perupa adalah bagian dari pencapaian bangsa, lantaran perupa adalah anak terhormat dari sebuah bangsa. ***

Agus Dermawan T.
Kritikus, penulis buku-buku seni rupa.

Pameran Tenun Kontemporer :Merajut Waktu Menjalin Makna

Tenun dan Seni Tradisi yang Berevolusi.

Kain tenun dan hasil tekstil lainnya adalah suatu warisan kekayaan peninggalan para leluhur bangsa Indonesia yang tak ternilai harganya. Hampir seluruh kelompok etnis di wilayah Nusantara hingga saat ini masih melakukan pembuatan tenun, baik secara turun temurun maupun dalam wilayah industri kecil dan menengah. Hasil-hasil tenun dari Nusantara juga menjadi salah satu bentuk artefak budaya yang paling menyebar dihampir seluruh museum dibelahan dunia. Kekaguman pada corak atau motif dan pola-pola yang rumit namun indah serta halus dan mempunyai kandungan makna budaya menjadikan para pencinta kain tenun dan peneliti diseluruh dunia mengakui bahwa estetika kain tenun di Indonesia memang begitu beragam dan bernilai budaya tinggi.


Oleh Rifky Effendy

Maka selain sebagai identitas budaya, hasil-hasil tenunan dan tekstil lainnya memainkan peranan penting dalam kehidupan sosial - ekonomi masyarakatnya. Dibeberapa daerah di tanah air, seperti kain batik telah menjadi industri yang bukan hanya mendatangkan pendapatan bagi sekelompok orang, tetapi menjadi sumber pendapatan daerah dan mungkin saja negara. Karena bagaimanapun kain tenun dan hasil tekstil lainnya masih dipergunakan untuk upacara – upacara khusus adat – istiadat dan ritual lainnya, bahkan penggunaannya masih berlangsung dalam keseharian masyarakat. Dalam perkembangannya, secara inovasi, kain tenun telah mengalami evolusi dalam teknik maupun coraknya. Namun dari bahan, motif serta pola tersebut kita pun bisa menangkap pengaruh-pengaruh jamannya. Bahkan dalam penerapannya kain-kain tenun bisa menjadi materi yang menarik dijadikan gubahan yang dikreasikan pada pakaian oleh para disainer fesyen kontemporer maupun untuk kain pelapis atau Upholstery. Ini juga menunjukan bahwa seni tradisi tidaklah mandek, bahkan sebaliknya menunjukan kreativitasnya.




Pameran “Merajut Waktu Menjalin Makna” merupakan suatu tinjauan bagaimana hasil tenun Nusantara terus berkembang sesuai dengan perubahan-perubahan sosial, budaya dan ekonomi masyarakatnya. Oleh karenanya, mengamati pola-pola, motif dan warna serta penerapannya menjadi sangat penting. Karena sebagai praktik budaya, elemen-elemen didalam kain tenun mempunyai makna simbolik yang terkait dengan faktor eksternal seperti sosial,politik dan kebudayaan. Hal ini bisa dicermati dari tingkat kehalusan teknik tenun, materi atau bahan hingga penerapan motifnya.

Pengaruh kontak budaya melalui jalur – jalur perdagangan dari peradaban lampau, hingga kemudian dengan rentang masa era kolonial, telah menghasilkan beragam olahan artistik dalam kehidupan seni tradisi khususnya kain tenun. Pengaruh ini samasekali tidak melemahkan keberadaan seni tenun sebagai sebuah bentuk seni tradisi dalam konteks kehidupan sakral , tapi justru memperkaya nilai-nilai estetikanya. Bahkan lebih jauh bila ditelusuri dan pencermatan melalui motif-motifnya, niscaya kita bisa membaca tanda-tanda budaya atau narasi. Oleh karena itu seni kriya , khususnya seni tenun mempunyai dimensi nilai simbolik. Seperti yang dikatakan seorang pemerhati kain tenun songket Minang berkebangsaan Swiss, Bernhard Bart, yang mengemukakan bahwa keunikan motif lama songket Minangkabau adalah setiap motif mengandung makna filosofis. (Kompas, 17 February 2006)

Bersama-sama Tria Basuki dan Yayasan Cita Tenun Indonesia (CTI), yang mengembangkan secara khusus kain tenun nusantara, menyeleksi karya-karya tenun pengembangan tradisi dengan keberagaman teknik dasar serta corak artistik. Puluhan ragam hasil tenun dari berbagai wilayah ditampilkan di NAS, mulai dengan pola yang delicate ; rumit serta halus dengan pola stilasi bentuk dan geomteris yang berlapis seperti dari Aceh, Minangkabau dan Palembang, hingga yang tampak lebih bebas dengan pola sederhana maupun figuratif, namun dinamis seperti dari Bali, Nusa Tenggara atau warna cerah dari Makassar, serta Badui yang lebih minimalis serta didominasi warna yang gelap. Sehingga keluasan wilayah ini memberikan kita gambaran bagaimana praktik tenun merepresentasikan juga estetik sebuah masyarakat yang majemuk. Adapula karya-karya perancang mode ternama maupun benda-benda keseharian yang menggunakan tenun maupun dilapisi kain tenun sebagai suatu alternatif yang secara kreatif bisa dikembangkan lebih lanjut.

Seni Tekstil Kontemporer

Seiring dengan praktik tenun tradisi, praktik seni tekstil sebagai bagian dari praktik seni rupa modern -selain seni lukis dan patung- juga berlangsung, terutama dilembaga pendidikan seni rupa modern. Walaupun keberadaannya dibawah jurusan desain (di FSRD ITB) dan Kriya (di ISI-Jogja), yang lebih mengarah pada seni terapan, tetapi saat ini beberapa alumninya mengembangkan bentuk ungkapan artistik yang individual seperti juga bentuk karya seni murni. Tetapi kemunculannya dalam dunia pendidikan seni modern begitu sangat terlambat. Seperti halnya yang pernah diutarakan oleh kritikus Sanento Yuliman (alm.) , dalam sebuah artikel pameran tahun 1986 menyebutkan bahwa: Gerakan seni rupa modern kita – yang kota dan kelas menengah itu – tidak cepat tanggap akan kenyataan seni tenun dan tekstil lainnya dalam budaya masyarakat kita, beliau mengemukakan kritiknya :

Modernisme, khususnya pada tahap awal dan pada kebanyakan perupa, telah menjangkitkan rabun dekat : melihat tradisi bangsa sendiri secara samar-samar. Lahir dari kandungan penjajahan dan kontak kebudayaan, gerakan seni modern di tanah air kita dengan bersemangat merengkuh gagasan-gagasan Barat dan sejarah seni Eropa. Gagasan tentang keutamaan seni lukis (dipandang sebagai induk seluruh seni rupa), gagasan rendahnya kriya (craft), tentang asas individualisme dalam seni, dianggap sahih secara universal. Dalam pada itu, lambannya komunikasi menyebabkan perubahan dalam seni dan estetika Barat, terutama yang mutakhir, tertangkap hanya sayup – sayup dan ditanggapi dengan keraguan. (Sanento, 2001: 186) 1

Dalam wacana modernisme barat yang dikotomis, praktik kriya bahkan dihubungan dengan lawan dari seni murni (lukis-patung) yang superior, jenius, maskulin. Praktik kriya (keramik, tekstil, kayu, dan lainnya) dianggap lebih cenderung inferior, terlalu kolektif agraris, feminin. Walaupun saat ini dikotomi itu memudar tapi dalam keseharian, dominasi seni lukis masih terasa. Maka baru sekitar tahun 1972 studio tekstil dibuka di FSRD – ITB, yang menunjukan bahwa adanya keterlambatan dalam menanggapi pemikiran-pemikiran terhadap seni modern dan bahkan dalam mempertimbangkan kekayaan praktik budaya nusantara. Bahkan sebenarnya studio tekstil disana lebih mengarah pada pemenuhan dunia industri tekstilnya. Perkembangan kemudian, praktik seni berbasis tekstil dan serat dalam lingkungan akademisi menghasilkan perupa-perupa tekstil yang mengembangkan bentuk karya individual seperti tapestri , batik, hingga instalasi. Biranul Anas, Ratna Panggabean, Hasanudin, Yusuf Efendy, Lengganu, Sunaryo, Zaini Rais mungkin beberapa nama yang muncul dengan karya-karya seni tekstil dan serat sejak dekade 1980-an.

Karya-karya serat yang tampil dalam pameran kali ini, seperti Biranul Anas dan John Martono misalnya tetap menjelajahi berbagai teknik dan artistik seperti menjalin benang, memilin, mencelup, mengikat, menenun dan membatik hingga bordir yang cenderung industrial, di dalam suatu bentuk karya tapestri serta bentuk trimatra. Biranul sering menjelajahi materi-materi dasar serat dengan menggabungannya beberapa material dan bereksperimen dengan bentuk-bentuk trimatra, dengan pola-pola yang melintas batas formalisme tradisional. Ungkapan-ungkapan individu secara langsung diartikulasikan lewat gubahan warna, tekstur dan pola yang lebih bebas dari pakem –pakem maupun pola tertentu seperti pada karya-karya John Martono. Begitupun dengan karya-karya Caroline Rika, Abdul Sukur dan Rifqi Sukma yang eksploratif terhadap kemungkinan material yang dipermainkan dalam wujud karya yang cenderung mementingkan interaksi imajinatif.

Seperti yang diutarakan Sujud Dartanto, kurator dalam pameran “textstyleproject” di Bentara Budaya Jogjakarta, bahwa: “ Bentuk visual karya mereka berbeda dengan lazimnya seni serat yang orang lihat pada seni batik dan tapestri misalnya. Dalam terma masa kini, karya-karya mereka memperlihatkan bentuk kontemporer. Artinya, cara mereka membentuk tidak ingin terikat pada pakem gaya tradisional. Penjelahan bentuk ini membuka bentuk pengucapan personal. Membentuk stilisasi dan gaya tersendiri. Di sini kita bisa mengapresiasi bahwa karya-karya mereka ini membuka peluang untuk melakukan berbagai penjelahan bentuk baru. Benang dalam hal ini menjadi karya objek yang tersusun dari berbagai macam unsur material. Bidang seni serat ini jelas tidak meninggalkan aspek craftsmanship, ketelitian dalam menentukan dan memilih bahan. Ketiganya berkutat pada bagaimana unsur benang bisa sedapat mungkin melahirkan bahasa artistik. Juga nampak bahwa unsur benang mereka artikan pula sebagai sebuah teks yang tengah menenun dan membentuk dirinya menjadi sebuah style.”

Selain bertiga diatas, jelajah bentuk trimatra yang meruang juga dilakukan oleh Nuri Fatima yang menggunakan banyak teknik menata kain perca atau patchwork. Karyanya berupa himpunan bentuk-bentuk seperti gunung atau bantal kerucut menjadi simbol personal dari suatu kenangan pribadinya dan kemudian mengajak pengamat untuk lebih aktif masuk pada dunianya. Sedangkan sekumpulan perupa muda , Kelompok Simponi (Sindikat Monster Poni) dari Jogjakarta yang terdiri dari Dian Ariyani, Elia Nurvista, dan Gintani Nur Apresia Swastika, menghadirkan gubahan karya membentuk teks “ MADE IN CHINA” yang terdiri dari susunan huruf-huruf dengan dibungkus kain batik sehingga memberikan makna yang ambigu bahkan ironis. Motif dan kain batik menjadi sebuah identitas budaya bangsa dan karya ini seolah menyindir dan memaksa kita untuk mempertimbangkan terus keberadaannya dalam kehidupan yang global ini.

Dalam praktik seni rupa kontemporer, persoalan medium ungkap tak lagi dilihat secara ideologis atau tersekat-sekat. Dunia gagasan seolah menjadi keutamaan dan fisik karya merupakan kendaraan untuk strategi perupa menciptakan ruang-ruang pemaknaan. Penggunaan teknik bordir misalnya, yang lebih cenderung industrial, bisa dimanfaatkan sebagai alat dalam menghasilkan garapan artistik yang sesuai dengan ungkapan yang diinginkan maupun pemanfaatan dalam mencari watak atau karakter yang khas.

Dalam pameran ini para perupa lebih mengutamakan watak khas serat benang untuk mengonstruksi imaji. Erik Pauhrizi menghadirkan potret – potret wajah pesohor sinema masa lalu, dengan bordiran hitam-putih seperti juga ada kesamaan watak drawing dengan garis maupun print, atau cetak mutakhir yang terdiri dari matrik dot maupun piksel. Sedangkan Eko Nugroho menggunakan watak bordir karena dalam keseharian masyarakat kontemporer, sering digunakan sebagai lencana (badge), mulai untuk seragam sekolah, pangkat kemiliteran, tanda lembaga pemerintah, hingga gang anak muda. Oleh karena itu bordir punya kaitan dengan identitas sosial. Sehingga dengan demikian gambar-gambar Eko yang bernuansa kritis namun jenaka mempunyai tempatnya yang pas.

Bagi perupa lainnya , medium dan teknik industri tekstil menjadi supplemen, seperti karya karpet Radi Arwinda dengan ikon Apetnya. Ia banyak terobsesi dan terpengaruh seni kartun Jepang atau Manga yang kemudian dipadukan dengan corak – corak dari seni tradisi. Pencarian jatidiri Radi dalam menciptakan karakter kartun dengan potret dirinya membentuk identitas karya-karyanya, dengan meleburkan karakter awan “megamendung” yang diambil dari corak batik maupun ukiran Cirebon kedalam ranah artistik manga. Karya Car-Pet dan Sof-Pet disini menggunakan idiom benda-benda keseharian ; karpet yang dibuat secara khusus yang menampilkan karakter Apet dan juga pasangannya, berupa sebuah sofa dengan bentuk dasar dari gubahan megamendungnya. Corak – corak dalam karya Radi menyadarkan kita bahwa kekayaan tradisi menjadi mungkin untuk dikaji dan dijelajahi menjadi sesuatu ikon yang lebih bergaya global.

Tenun dan Tekstil Dalam Kehidupan Saat Ini

Akhir kata, bahwa potensi seni tekstil di Indonesia merupakan suatu ladang gagasan yang mahaluas untuk dijelajahi serta dijadikan beragam bentuk artistik. Hasil – hasil tekstil, baik yang tradisionil maupun yang modern, yang manual maupun masinal mempunyai posisi penting dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Sebagai sebuah praktik budaya seperti hasil seni, tenun dan tekstil mempunyai fungsi simbolik. Oleh karena itu kajian – kajian terhadap perkembangan seni tenun tradisi dan sebagai medium ungkap seni kontemporer menjadi suatu kepentingan yang bakal mampu memberikan makna dalam formasi global saat ini. Bahkan pada saat ini kajian budaya mutakhir menjadikan seni tenun dan tekstil sebagai salah satu wahana dalam memahami suatu konteks budaya. Seorang akademisi Australia, Sue Rowly (1999: 7) mengatakan bahwa pada dasarnya hasil kriya seringkali digunakan sebagai bahan kajian ilmu pasca-kolonial. Alih-alih, kriya bisa digunakan untuk memaknai nilai diluar sejarah barat dan suatu model pertahanan yang kreatif tanpa harus disejajarkan dengan seni kontemporer barat yang mengarah pada praktik kritik, sebagai suatu keberbedaan (difference). Sebagai suatu wilayah alternatif penelusuran (trajectory) sejarah lokal yang khas.

Oleh karena itu, pameran ini diharapkan memberikan suatu alternatif pengamatan terhadap pemaknaan seni tenun warisan leluhur dan sekaligus budaya kontemporer Indonesia saat ini.

Pameran Tenun Kontemporer
10 - 30 Juli 2009

“HYBRIDIZATION” Inauguration Of North Art Space



“Dalam konteks seni rupa, perbincangan seputar hibridisasi diawali pada praktik seni rupa kontemporer di Indonesia terutama ketika dimulai dengan perdebatan pos-modern, sejak perhelatan besar Biennale – Jakarta IX di Taman Ismail Marzuki- Jakarta tahun 1993-94. Kurator Jim Supangkat dalam pengantarnya menggugat modernisme dan seni modern di Barat, serta munculnya gejala budaya yang menolak segala keteraturan dan kemapanan yang dibentuk sejarah seni rupa Barat. Posmodernisme merupakan gejala budaya dimana segala bentuk seni dan budaya-budaya berbaur dan bercampur, hingga pemikiran-pemikiran lokal dan tradisional terakomodasikan lewat ungkapan-ungkapan seni.



Hibridisasi seni rupa kontemporer, bukan saja berangkat dari pembauran medium dan budaya, tetapi juga bagaimana konstruksi pikiran dan bahasa rupa atau tanda-tanda yang telah bersilang dengan beragam jaman dan praktik-praktik sosial lainnya. Maka seiring dengan perkembangan jaman, praktik dan pemikiran seni rupa modern di Indonesia, hibridisasi menjadi suatu proses pembebasan diri terhadap dogma-dogma sejarah seni rupa barat (kolonialisme), mempertimbangkan adanya sejarah seni rupa modern Indonesia -termasuk pertumbuhan infrastruktunya- memberikan kemungkinan praktik seni yang melibatkan aspek - aspek kehidupan sosial masyarakat dalam pemikiran-pemikirannya, juga dengan mempertimbangkan budaya lokal. Maka hibridisasi menjadi proses pemikiran yang tengah berkecamuk dan berlangsung saat ini”. Itulah catatan Rifky Effendy sebagai kurator dalam pameran yang bertajuk “Hybridization” yang di helat dalam rangka Inauguration of North Art Space, pada hari Jumat 17 April 2009. Prosesi resminya akan diawali pada pukul 18.30 WIB dilanjutkan pameran yang akan berlangsung sampai tanggal 3 Mei 2009.



North Art Space (NAS) merupakan bentuk baru, yang dulunya merupakan galeri Pasar Seni Ancol. NAS hadir dengan semangat dan rasa baru. Menjadi pusat kegiatan pengembangan dan penyajian karya seni rupa yang dinamis, kreatif, inovatif, dan demokratis untuk meningkatkan apresiasi seni masyarakat Indonesia yang memiliki jati diri budaya kuat di tengah pergaulan dunia. NAS akan menjadi embrio bagi hadirnya ruang yang lebih besar, yaitu Pasar Seni Ancol itu sendiri. Kejayaan Pasar Seni Ancol kini perlu disegarkan kembali. Dan NAS akan menjadi sarana bagi seluruh seniman secara lebih terbuka. NAS merupakan bagian penting dari revitalisasi tersebut. “Ruang galeri yang baru telah berubah total. Kini arsitektur ruang dalamnya lebih berkesan clean, minimalis dan modern. Dari sisi ini sudah terlihat jelas NAS memang dibangun sebagai jawaban atas kebutuhan ruang publik bagi praktik seni rupa masa kini/kontemporer. Ruang seni yang dibangun diharapkan bisa menjadi ruang dialog serta interaksi budaya yang produktif bagi masyarakat”, begitu menurut Chris Dharmawan, dari Semarang Gallery.



“Hybridization” merupakan pameran pertama yang dilakukan oleh NAS, sekaligus menjadi acara pembukaan galeri secara resmi. Pameran ini dirancang bersama dengan Galeri Semarang, sebagai gallery partner. Hibridisasi seni rupa kontemporer tidak hanya saling membaurkan masalah medium, tetapi kehidupan masyarakat serta budaya lokal dan pemikiran-pemikirannya terakomodasi dalam proses pengungkapan karya seni.




Seniman-seniman yang dipilih dalam pameran ini memamerkan karya-karya dalam beragam medium. Haris Purnomo, Arie Dyanto, Soni Irawan, Sapto Sugiyo Utomo, Galam Zulkifli, Andy Dewantoro, Hanafi, NGK Ardana, Gede Mahendra Yasa, Agus Sumiantra dan Irwan Bagja Dermawan (Iweng) memamerkan lukisan. Sementara Heri Dono, Agus Suwage, Yani Maryani, Ketut Moniarta dan Albert Yonathan menampilkan obyek/instalasi. Lalu dari fotografi/digital artwork diisi oleh FX Harsono, Indra Leonardi dan Davy Linggar. Adapun Jompet, Tromarama dan Prilla Tania menampilkan video art. Sedangkan Saftari bermain dengan dua medium: lukisan dan obyek/instalasi.

Kamis, 12 Maret 2009

NORTH Art Space. Gallery Baru di Pasar Seni Ancol

Pasar Seni Ancol, Jakarta, tampaknya mulai merubah image dengan melakukan revitalisasi besar-besaran.



Gedung manajemen yang didalamnya terdapat banyak fasilitas dari kelas-kelas seni dan juga kantor Pasar Seni Ancol serta kantor Ancol Art Academy mulai dirombak. Galeri yang berada di atas juga dilakukan perombakan.






Desain ulangnya tampak lebih modern, walaupun belum selesai dan masih banyak material bangunan di depannya. Bagian dalamnya pun juga tampak nyaman dengan penikmat ruang pameran bisa terlihat dari bawah. Dan yang di bahwah bisa melihat suasana di galeri bagian atas.



Galeri Pasar Seni dengan sudut pandang dari lantai dasar.



Tangga menuju Galeri Pasar Seni Ancol di lantai 2.



Lantai 1 dilihat dari lantai 2.
Bagian relling tang terbuat dari kaca yang kuat menjadikan tempat ini lebih tampak berkelas.



Pemandangan di dalam galeri (lantai 2)
Sekarang tampak lebih luas dengan tata cahaya yang akan membuat karya-karya yang dipamerkan menjadi fokus dan berkelas.

~~~

NORTH Art Space. Itulah nama yang akan disematkan pada galeri baru di Pasar Seni Ancol ini. North Art Space (NAS) merupakan tempat berekspresi bagi para seniman di Indonesia. Tak hanya sebatas seniman di dalam Pasar Seni saja, tetapi seluruh seniman yang memenuhi kualitas untuk tampil melakukan ekshibisi di galeri atau area Pasar Seni Ancol.

NAS diharapkan menjadi pusat kegiatan pengembangan dan penyajian karya seni rupa yang dinamis, kreatif, inovatif, dan demokratis untuk meningkatkan apresiasi seni masyarakat Indonesia yang memiliki jati diri budaya kuat di tengah pergaulan dunia yang pada akhirnya bermuara pada kegiatan bisnis yang mengontribusikan keuntungan untuk perusahaan

Untuk mencapai hal tersebut maka NAS mengembangkan potensi karya seni rupa dengan mengedepankan kualitas karya. Mengembangkan karya seni rupa dengan memberi ruang kepada seniman berpotensi. Menghimpun, melestarikan, dan mengembangkan karya seni rupa dalam lingkup nasional maupun internasional. Memberdayakan kreatifitas dan profesionalisme pelaku seni melalui program pameran, pendidikan, penelitian, penukaran, workshop, kompetisi dan komitmen. Mengembangkan pemikiran, pandangan dan tanggapan terhadap karya seni rupa dalam kerangka peningkatan wawasan dan perluasan komunitas kreator dan apresiator. Memberikan pembelajaran seni kepada publik kelalui program yang bersifat edukatif-kultural dan rekreatif.

Bisnis karya seni adalah sebuah bisnis yang tidak mengenal kata surut. Seiring berjalannya tahun, bisnis ini tetap berkembang seakan mengabaikan kondisi perekonomian global. Dari pengalaman beberapa galeri besar, ketika krisis ekonomi tahun 1997 melanda Asia termasuk Indonesia, bisnis ini tetap melangkah ke depan. Bahkan ketika krisis di Indonesia belum pulih, ada galeri Indonesia yang mampu membuka cabangnya di luar negeri seperti di Singapura.

Membanjirnya perupa dan galeri dari Indonesia sebagai suatu berkah harus dibarengi dengan ketajaman indera bisnis pelakunya. Sisi komersialisasi suatu galeri akan dapat digali secara maksimal dengan menentukan strategi bisnis yang tepat

Nama besar Ancol sebagai salah satu pelaku bisnis rekreasi yang berada di bawah payung pariwisata merupakan modal luar biasa. Pariwisata memiliki saling keterkaitan dengan seni, dimana pariwisata membutuhkan seni. Dalam hal ini seni ditempatkan pada posisi yang strategis yaitu sebagai salah satu obyek pariwisata bergengsi di Ancol Dengan berlokasi di ibukota negara, Ancol merupakan tempat yang strategis dalam memasarkan seni rupa karena merupakan tujuan turis domestic maupun asing.