tag:blogger.com,1999:blog-52066671283489591402024-03-13T16:21:51.096-07:00Pasar Seni AncolWebsite ini menerima berbagai macam tulisan yang bersifat wacana. Membangun wacana berkesenian dari berbagai macam bentuk seni apapun. Website ini juga menerima karya-karya seni untuk dipublikasikan.Pasa Seni Ancolhttp://www.blogger.com/profile/18103134189167380928noreply@blogger.comBlogger15125tag:blogger.com,1999:blog-5206667128348959140.post-13092111823754503092009-08-03T23:59:00.000-07:002009-08-04T00:22:10.044-07:00(in Memoriam) Mbah Surip: “Gelandangan” Itu Kini Jadi MilyaderOleh aljauhari <br />diambil dari <a href="http://public.kompasiana.com/2009/07/16/mbah-surip-gelandangan-itu-kini-jadi-milyader/#comment-67211">Kompasiana</a><br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/SnfhFgxCauI/AAAAAAAAAF8/NzEDsOp1E48/s1600-h/mbah-surip-2.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 266px; height: 400px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/SnfhFgxCauI/AAAAAAAAAF8/NzEDsOp1E48/s400/mbah-surip-2.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5366004965846444770" /></a><br />Selamat Jalan dan Hati-hati ya Mbah Surip<br /> <span style="font-style:italic;"> I Love You Full....<br /> Ha.. Ha.. Ha..</span><br /><br />Saya akrab dengan sosok Mbah Surip sejak tahun 1988. Waktu itu ia banyak tinggal di Pasar Seni Ancol. Dari dulu, rambutnya sudah gimbal. Kemana-mana pegang gitar ‘mainan anak’ (cukolele) buatan sendiri. Tiap ketemu kawan, dia menyanyikan lagu yang itu-itu saja. Siapa sangka lagu-lagu tersebut kini sangat populer setelah jadi album.<br /><br />Saya masih ingat, Mbah Surip sering menyanyikan lagu ‘tak gendong’ dan ‘bangun pagi’ di depan teras show room kami di Pasar Seni Blok F1 (dulu pusat patung dan ukiran kayu milik keluarga kami). Ia akrab dengan kakak saya, Mas Sidik Al Amien (alm). Biasanya ia datang ke show room saat jam makan siang. Kalau sudah begitu, Mas Sidik mengajak dia makan siang di warung ‘Si Eneng’ di samping show room.<br /><br />Kata Mas Sidik, meski hidup susah (baca: menggelandang), Mbah Surip pantang meminta-minta. Meski lapar, dia tidak akan minta ditraktir. Tapi tidak akan menolak bila diajak makan. “Makanya jangan heran bila dia ke sini pas jam-jam makan. Kalau gak ada saya, ajak aja makan di warung sebelah,” pesan Mas Sidik suatu hari.<br /><br />Di pasar seni ancol, Mbah Surip sering makan kalau ada kawan akrab, atau kenalan sedang makan (karena ditraktir). Saya yakin, untuk itu dia tidak musti minta ditraktir. Meski penampilannya ‘nyleneh’, ia sangat dihargai orang se komunitas seniman dan pengusaha Pasar Seni Ancol.<br /><br />Hal lain yang saya ingat di masa itu, Mbah Surip sering diajak tampil bareng oleh musikus-musikus ternama di Tanah Air ini. Iwan Fals misalnya, saat manggung di Pasar Seni Ancol sering meminta Mbah Surip mendampinginya. Demikian juga Iyek (Ahmad Albar). Kalau Godbless atau Gong 2000 mentas, selalu saja meminta dukungan Mbah Surip. Kalau sudah begitu, baik Iwan Fals dan Ahmad Albar justru justru malah larut dengan gaya musik Mbah Surip. Hebatnya, kedua musisi senior itu selalu bisa mengikuti arah lirik lagu Mbah Surip. Padahal, Mbah Surip menyanyi dengan nada dan lirik lagu mereka dengan gaya khasnya yang seperti orang kesurupan.<br /><br />Sungguh, sulit membayangkan Mbah Surip mampu membius jutaan orang dengan lagu-lagu ‘alakadarnya’ itu, sekarang. Jutaan orang seolah terlena dengan lagu ‘Tak Gendong’ dan ‘Bangun Pagi’, meski dengan nada dan lirik gak jelas seperti itu. Dan siapa nyana bila Mbah Surip, berbekal lagu-lagunya itu, kini berubah jadi milyader. Dapat penghasilan dari kontrak senilai jutaan dan bonus rumah 2 milyar serta mobil ratusan juta. Waow Mbah Surip, semoga sukses selalu!!!Pasa Seni Ancolhttp://www.blogger.com/profile/18103134189167380928noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5206667128348959140.post-46860952746650172862009-07-26T22:07:00.001-07:002009-07-26T22:17:22.148-07:00“The RUNNING STARS”, Menghargai Penghargaan Seni<span style="font-weight:bold;">Pameran Lukisan<br />North Art Space<br />7 - 31 Agustus 2009</span><br /><br />Dalam pameran <span style="font-weight:bold;">“The Running Stars”</span> yang menawarkan serentang bintang seni lukis Indonesia ini kita berjumpa dengan lukisan-lukisan para juara berbagai kompetisi seni lukis. Yakni kompetisi yang diadakan di bawah bendera Golden Palette Art Awards 2005, JAA (Jakarta Art Awards) 2006 serta JAA 2008. Ketiga kompetisi ini diadakan oleh Pasar Seni Ancol dan Pemerintah DKI Jakarta. Apabila JAA merupakan kompetisi yang bersifat nasional, maka Golden Palette Art Awards hanya untuk para pelukis di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.<br /> <br />Pameran ini menjadi penting jika ditilik betapa para juara itu lahir dari sejumlah kompetisi yang ketat. Bayangkan, pada JAA 2006 misalnya, pelukis yang berpartisipasi sebanyak 1197, dengan karya yang diikutkan lebih dari 3200. Pada JAA 2008 ada 941 pelukis yang ikut dengan 3456 lukisan. Menjadi pemenang di antara begitu banyak kompetitor, tentu merupakan prestasi yang luar biasa.<br /><br />Dengan menghitung para pelukis yang berhasil menjadi pemenang utama serta pemenang dengan predikat “penghargaan khusus”, ketiga ajang kompetisi di atas menghasilkan 30 juara. Kami menyadari untuk menggelar secara serentak karya 30 pelukis terbaik itu tidaklah mungkin, karena North Art Space, tempat pameran ini digelar, memiliki keterbatasan ruang. Oleh karena itu Panitia lalu memilih 14 di antaranya, dengan harapan selebihnya akan ditampilkan pada kesempatan berikutnya.<br /><br />Maka dalam pameran ini kita segera berjumpa dengan lukisan <span style="font-weight:bold;">Suraji</span> (Yogyakarta), Boyke Aditya Krishna (Yogyakarta), Cubung Wasono Putro (Jakarta), Cucu Ruchyat (Bandung), Dwijo Widiyono (Bekasi), Edi Sunaryo (Yogyakarta), Hanafi (Depok), I Ketut Sadia (Bali), Melodia (Yogyakarta), Noer Dhami (Demak), Paul Hendro (Jakarta), Sapto Sugiyo Utomo (Klaten), Teguh Wiyatno (Yogyakarta).<br /><br />Meski sejak awal telah menegaskan gaya karyanya secara kuat, dalam pameran ini sebagian dari mereka melakukan sejumlah perubahan. Namun perubahan yang mengindikasikan perkembangan itu tetap merengkuh karakter yang sejak semula menjadi ciri eksistensinya. Sehingga kita tetap melihat karya mereka sebagai manifestasi sang juara, seperti yang sudah kita kenal beberapa waktu lalu.<br /> <br /><span style="font-weight:bold;">Suraji</span> tetap dengan kritik sosialnya yang sinis namun sangat estetik. Boyke dengan kekuatan dekoratif surealis yang begitu halus dan belum ada duanya di Indonesia. Cubung dengan fantasinya yang liar serta persepsinya yang ganjil atas kehidupan kota besar. Cucu Ruchyat dengan figur-figur komikal yang dipresentasikan lewat perfeksi teknik menakjubkan. Dwijo Widiyono dengan ungkapan bentuk yang bergesek antara realitas dan abstraksi, di atas warna-warna beraroma Jawa. Edi Sunaryo dengan kekuatan fantasi yang sanggup mempuitisasi benda-benda, disertai kelembutan pengerjaan amat mempesona. Hanafi dengan presentasi abstrak yang elok serta memancing imajinasi. Ketut Sadia dengan kebebasan mengolah ciri tradisional Bali khas Batuan lewat tema-tema sosial yang aktual. <br /><br />Lalu <span style="font-weight:bold;">Melodia</span> dengan satir-satir kemasyarakatan yang disampaikan secara unik lewat potensi potretiknya yang liat. Noerdhami dengan hasratnya untuk terus mengolah elemen gambar dami sebagai ciri karyanya. Paul Hendro yang mengangkat sisi kehidupan masyarakat urban dengan bahasa surealis. Sapto Sugiyo Utomo dengan sensibilitasnya dalam menangkap benda sederhana sebagai materi narasi, lewat kemampuannya melukis super-realis. Teguh Wiyatno merekam dan merangkum peristiwa dalam kekuatan gambar yang digubah oleh kekuatan melukis cat air.<br /><br />Kita tahu, pada saat ini para pelukis terbaik di atas sedang menjadi bagian yang sangat terhargai di tengah masyarakat seni rupa Indonesia dan internasional. Namanya selalu dijumput dan diposisikan sebagai bendera nilai di berbagai pameran. Manifestasinya diwacanakan, dan wacana karyanya dibicarakan. Sementara itu, sebagai dampaknya, dalam dunia komodifikasi seni di aneka galeri dan biro lelang karya-karya mereka mencatatkan angka-angka terhormat.<br /><br />Pameran ini akan menyadarkan kita bahwa sebuah kompetisi bisa hadir begitu penting ketika para juara dari kompetisi itu akhirnya memberikan aksentuasi dalam percaturan seni di tengah masyarakatnya. Dengan menyadari nilai-nilai penting sebuah kompetisi, kita lalu mengingat, sesungguhnya betapa minim iklim kompetisi seni rupa yang ada di Indonesia. Untuk itu tiada salahnya apabila wacana kemiskinan kompetisi ini, yang membawa minimnya penghargaan seni, ditegaskan lewat alinea-alinea di bawah ini. Lewat beberapa contoh kejadian, lewat beberapa catatan kesejarahan.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Mencari catatan reputasi. </span><br />Syahdan pada suatu kali panitia pameran The Best of Asia berkehendak memamerkan 80 lukisan buah cipta pelukis-pelukis Indonesia. Lukisan tersebut akan digelar di Changi Airport, bandar udara Singapura yang dikunjungi hampir 2 juta orang per bulannya itu. Salah satu syarat yang diminta panitia adalah, kurator harus mengajukan pelukis yang telah mengantongi sejumlah penghargaan penting dalam 5 tahun terakhir. Makin banyak penghargaan, semakin baik.<br /><br />Persyaratan ini tentu merupakan sesuatu yang lumrah. Itu sebabnya institusi pameran di Tiongkok, Taiwan, Australia, Prancis, Itali, Jepang, Korea Selatan sampai Kuba juga meminta hal yang sama. Daftar penghargaan bagi panitia internasional merupakan tahap awal pemantauan kredibilitas seniman yang disertakan. Tanpa itu, keabsahan dan kepiawaian seniman memang lantas gampang diragukan.<br /><br />Tapi persyaratan tersebut bagi kurator seni lukis (rupa) Indonesia, sungguhlah pekerjaan sulit. Sebabnya adalah karena tradisi memberi penghargaan di sini belum ada. Dan dengan begitu, frekuensi hadirnya penghargaan atau hadiah juga sangatlah jarang. Walaupun dunia seni rupa kita, terutama seni lukis, memiliki potensi yang amat besar untuk selalu dianugerahi penghargaan-penghargaan yang termaksud.<br /><br />Apa sebab seni rupa Indonesia sangat pelit penghargaan, faktornya perlu ditelusuk dalam-dalam. Namun penyebab utamanya adalah berkait dengan mentalitas orang-orang yang seyogyanya memberikan penghargaan. Faktor feodalitas, bahwa yang punya posisi (tua, ternama, senior, berpangkat, established) sebagai satu-satunya insan yang harus disanjung dan dihormati, adalah bagian dari hambatan munculnya hadiah-hadiah seni itu. Ini mirip dengan ketidaksediaan mereka dalam menerima kritik. Kerendah-hatian dan kebesaran jiwa yang menjadi modal nyata tersisih setelah dirangsek oleh sifat yang tak mau kalah. <br /><br />Sifat feodalisme demikian memang tidak membawa seseorang ke wilayah hati yang mau terbuka, dan sudi mencermati karya-karya seniman yang secara hirarkis dianggap berada di bawahnya. Apresiasi dan toleransi pun lantas macet. Minat untuk memberikan hadiah seni pun lalu amat berat untuk muncul.<br /><br />Sebagai ilustrasi, pada tahun 1990-an kantor kesenian milik pemerintah Indonesia mendapat surat menarik dari sebuah lembaga seni rupa internasional. Surat formal itu berupa tawaran untuk memilih perupa muda Indonesia yang berprestasi, guna dicalonkan mendapat “penghargaan seni rupa Asia”, dengan hadiah uang sebesar 20 ribu dollar. Sebagaimana biasanya, Direktur Kesenian meminta saran kepada sejumlah perupa senior Indonesia ihwal sistem pemilihan perupa muda berprestasi itu.<br /><br />Hasil dari sumbang saran yang ditampung ternyata mengecewakan. Sebab sebagian perupa senior justru “menolak” tawaran hadiah tersebut. Salah satu alasannya adalah : jumlah hadiahnya terlalu besar untuk seorang perupa muda. Perbandingannya, kata para perupa senior itu, hadiah biennale seni lukis Dewan Kesenian Jakarta (untuk pelukis senior) saja cuma sepersepuluhnya.<br /> <br />Untung lembaga dari Departemen P dan K ini jalan terus, meski akhirnya pencalonan tersebut menjadi terlambat. Dan nama pelukis muda Indonesia didiskualifikasi.<br /><br />Sementara itu difahami bahwa sebuah hadiah untuk karya seni rupa sesungguhnya adalah tidak perlu diukur dari bentuk materinya. Namun dari isinya, hasratnya untuk menjunjung, mengakui dan mengesahkan. Karenanya, cukup tak masuk akal apabila ada lembaga yang enggan memberikan penghargaan kepada sebuah prestasi hanya karena alasan : tidak ada dana.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Hanya dua.</span><br />Di Indonesia kini hanya ada 2 kepanitiaan yang berkenan memberikan penghargaan kepada para perupa. Yakni Jakarta Art Awards yang sudah berlangsung 2 kali, tahun 2006 dan 2008, yang merupakan kelanjutan dari Golden Palette 2005. Penghargaan kompetititif ini digagas oleh Pasar Seni Ancol dengan dukungan Pemerintah DKI Jakarta, yang notabene Gubernur Fauzi Bowo. Lalu Indonesia Art Awards, yang juga diberikan 2 tahun sekali oleh Yayasan Seni Rupa Indonesia, sebagai titisan dari Indonesia Philip Morris Art Awards.<br /><br />Pada tingkat perguruan sangat sedikit yang rutin memberikan hadiah seni rupa, yakni panitia Pratisara Affandi Adi Karya, di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Dan kadang-kadang Institut Kesenian Jakarta juga membagikan. Hadiah ini diberikan setelah melewati sebuah kompetisi dalam forum pameran. Tradisi penghargaan prestasi ini setidaknya meneruskan Wendy Sorensen Memorial Award dari New York yang diberikan untuk mahasiswa seni rupa Indonesia yang memiliki reputasi bagus, dan berada di kubah perguruan ASRI Yogyakarta dan ITB Seni Rupa Bandung. Sekali waktu Sanggar Dewata juga memberikan penghargaan kepada perupa yang dianggap memiliki kontribusi seni signifikan.<br /><br />Indonesia memang sangat irit untuk pengeluarkan pengakuan atas reputasi para perupanya sendiri. Padahal sejumlah institusi telah berusaha memberikan contoh menarik. Jauh ke belakang, Bataviasche Kunstkring (Lingkaran Seni Batavia) pada tahun 1930-an telah memberikan penghormatan kepada karya-karya lukis terbaik, lewat pagelaran bondcollectie, atau pameran karya pelukis yang dikumpulkan dari aneka kunstkring berbagai daerah. Keimin Bunda Sidhoso, atau pusat kebudayaan era Jepang 1942-1945, juga memberikan banyak hadiah kepada lukisan terbaik karya seniman-seniman Indonesia. <br /><br />Setelah terputus puluhan tahun, pada kurun 1974 Dewan Kesenian Jakarta mulai memberikan penghargaan kepada para pelukis yang ikut dalam Biennale Seni Lukis Indonesia di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Meski pada tahun 1990-an tradisi ini serta merta berhenti.<br /><br />Lebih dari 30 tahun silam <span style="font-style:italic;">The Society for American Indonesian Friendship</span> memberikan hadiah kepada para perupa yang mempunyai dedikasi dan reputasi menawan. Hal ini lantas diikuti oleh Yayasan Adam Malik, yang sekali-sekali memberikan penghargaan kepada figur dunia seni rupa yang memiliki bobot. Dewan Kesenian Jakarta memberikan hadiah kepada seni lukis terbaik lewat acara Biennale Seni Lukis Indonesia. Kita juga sempat mengingat, tahun 1990-an pernah sekali waktu McDonald serta Nokia memberikan McDonald Art Awards dan Nokia Art Awards. Dan pada 2002 serta 2003 digelar kompetisi seni lukis nasional Indofood Art Awards yang diprakarsai CEO progresif Eva Rianti Hutapea. Tapi perhelatan yang sedikit itu kini nampaknya hanya merupakan catatan masa manis belaka, lantaran semuanya tidak lagi berlanjut. <br /><br />Realitas ini amat berbeda dengan yang terjadi di mancanegara, yang menjadikan pemberian penghargaan sebagai tradisi. Sehingga seorang pelukis muda semacam Stephen Yao, kelahiran 1960, bisa mengantungi belasan penghargaan dari negerinya Hongkong. Pelukis senior Amerika (alm) Dong Kingman mempunyai 75 penghargaan prestisius selama hidupnya. Para perupa muda berprestasi Singapura, disemati medali dalam setiap tahun lewat sebuah (iklim) kompetisi. Pelukis Berber dari Bosnia punya tak kurang dari 30 penghargaan seni dari eks Yugoslavia dan sekitarnya. Begitu pula pelukis Edo Murtic dari Kroasia, yang di Indonesia tak terlalu terkenal, penghargaan resminya tak dapat ditaruh dalam sebuah halaman katalogus. Jangan kata yang terjadi pada para pelukis Tiongkok. <br /><br />Di Perancis, iklim kompetisi seni rupa bisa berlangsung puluhan kali dalam setahun. Persis seperti musim pertandingan sepak bola yang gemuruh itu. Begitu juga di Jepang. Bahkan di negeri ini setiap kompetisi internasional selalu menyediakan hadiah khusus bagi para perupa Jepang. Sehingga, apabila ada pelukis asing yang memenangkan kompetisi, Jepang juga mengangkat pelukis Jepang sebagai pemenang pendamping. Realitas aktual akan hal ini bisa dilihat pada kompetisi seni rupa di Beppu, yang sering diikuti oleh perupa Indonesia.<br /><br />Lantaran itu, perupa sekualitas Sunaryo dan Dede Eri Supria paling-paling mempunyai 7 penghargaan penting dalam 25 tahun terakhir. Itu pun sebagian datang dari luar negeri, yang dengan susah payah diupayakan oleh pelukisnya sendiri. Bahkan seniman berdedikasi tinggi seperti Basoeki Abdullah, Sudjana Kerton, Hendra Gunawan, Dullah, Lee Man-Fong amat jarang atau belum disentuh penghargaan, sampai semua sudah tutup usia.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Menghargai penghargaan.</span><br />Yang unik, di Indonesia tak hanya tradisi memberikan hadiah yang tidak ada. Tradisi menghargai hadiah juga sangatlah kurang. Pada tahun 1985 Doyo Prawito yang mengantungi belasan hadiah dari Eropa Barat, ditolak pameran di Taman Ismail Marzuki. Alasannya, kredibilitas Doyo Prawito masih dianggap kurang, karena belum memiliki penghargaan dari Indonesia. Pun ketika ia menunjukkan salah satu tropi yang direnggutnya, Oscar di Montecarlo, hadiah prestisius yang juga pernah diberikan kepada Marc Chagall, Salvador Dali, sutradara Carlo Ponti, bintang film Alain Delon. <br /><br />Barangkali sekarang sudah saatnya mentalitas untuk memberikan penghargaan dan menghargai penghargaan ditumbuhkan. Kini tiba waktunya dibentuk institusi penilai, entah itu dari museum, pendidikan tinggi, galeri, lembaga pemerintah atau forum seni rupa lainnya. Kemauan memberikan hadiah seni, baik untuk lingkup akademi, profesional yunior, senior, kampiun, dengan berbagai kategorisasi, layak ditradisikan.<br /><br />Semakin banyak semakin baik. Dan selama semuanya tetap bersandar kepada kritera obyektif, sehingga yang diputuskan bukan rekayasa klik, kelompok atau golongan tertentu, tradisi ini akan menghangatkan iklim. Dan iklim akan menstimulasi munculnya motivasi-motivasi baru dalam berkarya. Dampak lanjut dari segalanya adalah : memudahkan internasionalisasi karya-karya seni rupa kita.<br /> <br />Pameran <span style="font-style:italic;">“The Running Stars”</span> ini adalah upaya Pasar Seni Ancol dan North Art Space untuk menghargai penghargaan yang sudah dicapai oleh para perupa. Karena bagi para perupa, penghargaan adalah tanda-tanda pencapaian hidup yang akan terus disimpan dalam dokumentasi keluarga dalam sepanjang hayat. Sementara bagi publik, penghargaan yang dimiliki perupa adalah bagian dari pencapaian bangsa, lantaran perupa adalah anak terhormat dari sebuah bangsa. ***<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Agus Dermawan T.</span><br /><span style="font-style:italic;">Kritikus, penulis buku-buku seni rupa. </span>Pasa Seni Ancolhttp://www.blogger.com/profile/18103134189167380928noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5206667128348959140.post-65985294174555353142009-07-26T21:25:00.000-07:002009-07-26T22:00:46.923-07:00Pameran Tenun Kontemporer :Merajut Waktu Menjalin Makna<span style="font-weight:bold;">Tenun dan Seni Tradisi yang Berevolusi. </span><br /><br />Kain tenun dan hasil tekstil lainnya adalah suatu warisan kekayaan peninggalan para leluhur bangsa Indonesia yang tak ternilai harganya. Hampir seluruh kelompok etnis di wilayah Nusantara hingga saat ini masih melakukan pembuatan tenun, baik secara turun temurun maupun dalam wilayah industri kecil dan menengah. Hasil-hasil tenun dari Nusantara juga menjadi salah satu bentuk artefak budaya yang paling menyebar dihampir seluruh museum dibelahan dunia. Kekaguman pada corak atau motif dan pola-pola yang rumit namun indah serta halus dan mempunyai kandungan makna budaya menjadikan para pencinta kain tenun dan peneliti diseluruh dunia mengakui bahwa estetika kain tenun di Indonesia memang begitu beragam dan bernilai budaya tinggi. <br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/Sm0tXbu6ymI/AAAAAAAAAFs/MxonV5gnhhM/s1600-h/CIMG4493.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 300px; height: 400px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/Sm0tXbu6ymI/AAAAAAAAAFs/MxonV5gnhhM/s400/CIMG4493.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5362992611872918114" /></a><br /><span style="font-weight:bold;">Oleh Rifky Effendy</span><br /><br />Maka selain sebagai identitas budaya, hasil-hasil tenunan dan tekstil lainnya memainkan peranan penting dalam kehidupan sosial - ekonomi masyarakatnya. Dibeberapa daerah di tanah air, seperti kain batik telah menjadi industri yang bukan hanya mendatangkan pendapatan bagi sekelompok orang, tetapi menjadi sumber pendapatan daerah dan mungkin saja negara. Karena bagaimanapun kain tenun dan hasil tekstil lainnya masih dipergunakan untuk upacara – upacara khusus adat – istiadat dan ritual lainnya, bahkan penggunaannya masih berlangsung dalam keseharian masyarakat. Dalam perkembangannya, secara inovasi, kain tenun telah mengalami evolusi dalam teknik maupun coraknya. Namun dari bahan, motif serta pola tersebut kita pun bisa menangkap pengaruh-pengaruh jamannya. Bahkan dalam penerapannya kain-kain tenun bisa menjadi materi yang menarik dijadikan gubahan yang dikreasikan pada pakaian oleh para disainer fesyen kontemporer maupun untuk kain pelapis atau Upholstery. Ini juga menunjukan bahwa seni tradisi tidaklah mandek, bahkan sebaliknya menunjukan kreativitasnya. <br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/Sm0tsWBh9oI/AAAAAAAAAF0/tCwjcRl18bw/s1600-h/pameran+tenun+(100).JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 268px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/Sm0tsWBh9oI/AAAAAAAAAF0/tCwjcRl18bw/s400/pameran+tenun+(100).JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5362992971117622914" /></a><br /><br /><br />Pameran “Merajut Waktu Menjalin Makna” merupakan suatu tinjauan bagaimana hasil tenun Nusantara terus berkembang sesuai dengan perubahan-perubahan sosial, budaya dan ekonomi masyarakatnya. Oleh karenanya, mengamati pola-pola, motif dan warna serta penerapannya menjadi sangat penting. Karena sebagai praktik budaya, elemen-elemen didalam kain tenun mempunyai makna simbolik yang terkait dengan faktor eksternal seperti sosial,politik dan kebudayaan. Hal ini bisa dicermati dari tingkat kehalusan teknik tenun, materi atau bahan hingga penerapan motifnya. <br /><br />Pengaruh kontak budaya melalui jalur – jalur perdagangan dari peradaban lampau, hingga kemudian dengan rentang masa era kolonial, telah menghasilkan beragam olahan artistik dalam kehidupan seni tradisi khususnya kain tenun. Pengaruh ini samasekali tidak melemahkan keberadaan seni tenun sebagai sebuah bentuk seni tradisi dalam konteks kehidupan sakral , tapi justru memperkaya nilai-nilai estetikanya. Bahkan lebih jauh bila ditelusuri dan pencermatan melalui motif-motifnya, niscaya kita bisa membaca tanda-tanda budaya atau narasi. Oleh karena itu seni kriya , khususnya seni tenun mempunyai dimensi nilai simbolik. Seperti yang dikatakan seorang pemerhati kain tenun songket Minang berkebangsaan Swiss, Bernhard Bart, yang mengemukakan bahwa keunikan motif lama songket Minangkabau adalah setiap motif mengandung makna filosofis. (Kompas, 17 February 2006)<br /><br />Bersama-sama Tria Basuki dan Yayasan Cita Tenun Indonesia (CTI), yang mengembangkan secara khusus kain tenun nusantara, menyeleksi karya-karya tenun pengembangan tradisi dengan keberagaman teknik dasar serta corak artistik. Puluhan ragam hasil tenun dari berbagai wilayah ditampilkan di NAS, mulai dengan pola yang delicate ; rumit serta halus dengan pola stilasi bentuk dan geomteris yang berlapis seperti dari Aceh, Minangkabau dan Palembang, hingga yang tampak lebih bebas dengan pola sederhana maupun figuratif, namun dinamis seperti dari Bali, Nusa Tenggara atau warna cerah dari Makassar, serta Badui yang lebih minimalis serta didominasi warna yang gelap. Sehingga keluasan wilayah ini memberikan kita gambaran bagaimana praktik tenun merepresentasikan juga estetik sebuah masyarakat yang majemuk. Adapula karya-karya perancang mode ternama maupun benda-benda keseharian yang menggunakan tenun maupun dilapisi kain tenun sebagai suatu alternatif yang secara kreatif bisa dikembangkan lebih lanjut. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Seni Tekstil Kontemporer</span><br /><br />Seiring dengan praktik tenun tradisi, praktik seni tekstil sebagai bagian dari praktik seni rupa modern -selain seni lukis dan patung- juga berlangsung, terutama dilembaga pendidikan seni rupa modern. Walaupun keberadaannya dibawah jurusan desain (di FSRD ITB) dan Kriya (di ISI-Jogja), yang lebih mengarah pada seni terapan, tetapi saat ini beberapa alumninya mengembangkan bentuk ungkapan artistik yang individual seperti juga bentuk karya seni murni. Tetapi kemunculannya dalam dunia pendidikan seni modern begitu sangat terlambat. Seperti halnya yang pernah diutarakan oleh kritikus Sanento Yuliman (alm.) , dalam sebuah artikel pameran tahun 1986 menyebutkan bahwa: Gerakan seni rupa modern kita – yang kota dan kelas menengah itu – tidak cepat tanggap akan kenyataan seni tenun dan tekstil lainnya dalam budaya masyarakat kita, beliau mengemukakan kritiknya :<br /><br />Modernisme, khususnya pada tahap awal dan pada kebanyakan perupa, telah menjangkitkan rabun dekat : melihat tradisi bangsa sendiri secara samar-samar. Lahir dari kandungan penjajahan dan kontak kebudayaan, gerakan seni modern di tanah air kita dengan bersemangat merengkuh gagasan-gagasan Barat dan sejarah seni Eropa. Gagasan tentang keutamaan seni lukis (dipandang sebagai induk seluruh seni rupa), gagasan rendahnya kriya (craft), tentang asas individualisme dalam seni, dianggap sahih secara universal. Dalam pada itu, lambannya komunikasi menyebabkan perubahan dalam seni dan estetika Barat, terutama yang mutakhir, tertangkap hanya sayup – sayup dan ditanggapi dengan keraguan. (Sanento, 2001: 186) 1<br /><br />Dalam wacana modernisme barat yang dikotomis, praktik kriya bahkan dihubungan dengan lawan dari seni murni (lukis-patung) yang superior, jenius, maskulin. Praktik kriya (keramik, tekstil, kayu, dan lainnya) dianggap lebih cenderung inferior, terlalu kolektif agraris, feminin. Walaupun saat ini dikotomi itu memudar tapi dalam keseharian, dominasi seni lukis masih terasa. Maka baru sekitar tahun 1972 studio tekstil dibuka di FSRD – ITB, yang menunjukan bahwa adanya keterlambatan dalam menanggapi pemikiran-pemikiran terhadap seni modern dan bahkan dalam mempertimbangkan kekayaan praktik budaya nusantara. Bahkan sebenarnya studio tekstil disana lebih mengarah pada pemenuhan dunia industri tekstilnya. Perkembangan kemudian, praktik seni berbasis tekstil dan serat dalam lingkungan akademisi menghasilkan perupa-perupa tekstil yang mengembangkan bentuk karya individual seperti tapestri , batik, hingga instalasi. Biranul Anas, Ratna Panggabean, Hasanudin, Yusuf Efendy, Lengganu, Sunaryo, Zaini Rais mungkin beberapa nama yang muncul dengan karya-karya seni tekstil dan serat sejak dekade 1980-an. <br /><br />Karya-karya serat yang tampil dalam pameran kali ini, seperti Biranul Anas dan John Martono misalnya tetap menjelajahi berbagai teknik dan artistik seperti menjalin benang, memilin, mencelup, mengikat, menenun dan membatik hingga bordir yang cenderung industrial, di dalam suatu bentuk karya tapestri serta bentuk trimatra. Biranul sering menjelajahi materi-materi dasar serat dengan menggabungannya beberapa material dan bereksperimen dengan bentuk-bentuk trimatra, dengan pola-pola yang melintas batas formalisme tradisional. Ungkapan-ungkapan individu secara langsung diartikulasikan lewat gubahan warna, tekstur dan pola yang lebih bebas dari pakem –pakem maupun pola tertentu seperti pada karya-karya John Martono. Begitupun dengan karya-karya Caroline Rika, Abdul Sukur dan Rifqi Sukma yang eksploratif terhadap kemungkinan material yang dipermainkan dalam wujud karya yang cenderung mementingkan interaksi imajinatif. <br /><br />Seperti yang diutarakan Sujud Dartanto, kurator dalam pameran <span style="font-style:italic;">“textstyleproject”</span> di Bentara Budaya Jogjakarta, bahwa: “ Bentuk visual karya mereka berbeda dengan lazimnya seni serat yang orang lihat pada seni batik dan tapestri misalnya. Dalam terma masa kini, karya-karya mereka memperlihatkan bentuk kontemporer. Artinya, cara mereka membentuk tidak ingin terikat pada pakem gaya tradisional. Penjelahan bentuk ini membuka bentuk pengucapan personal. Membentuk stilisasi dan gaya tersendiri. Di sini kita bisa mengapresiasi bahwa karya-karya mereka ini membuka peluang untuk melakukan berbagai penjelahan bentuk baru. Benang dalam hal ini menjadi karya objek yang tersusun dari berbagai macam unsur material. Bidang seni serat ini jelas tidak meninggalkan aspek craftsmanship, ketelitian dalam menentukan dan memilih bahan. Ketiganya berkutat pada bagaimana unsur benang bisa sedapat mungkin melahirkan bahasa artistik. Juga nampak bahwa unsur benang mereka artikan pula sebagai sebuah teks yang tengah menenun dan membentuk dirinya menjadi sebuah style.”<br /><br />Selain bertiga diatas, jelajah bentuk trimatra yang meruang juga dilakukan oleh Nuri Fatima yang menggunakan banyak teknik menata kain perca atau patchwork. Karyanya berupa himpunan bentuk-bentuk seperti gunung atau bantal kerucut menjadi simbol personal dari suatu kenangan pribadinya dan kemudian mengajak pengamat untuk lebih aktif masuk pada dunianya. Sedangkan sekumpulan perupa muda , Kelompok Simponi (Sindikat Monster Poni) dari Jogjakarta yang terdiri dari Dian Ariyani, Elia Nurvista, dan Gintani Nur Apresia Swastika, menghadirkan gubahan karya membentuk teks “ MADE IN CHINA” yang terdiri dari susunan huruf-huruf dengan dibungkus kain batik sehingga memberikan makna yang ambigu bahkan ironis. Motif dan kain batik menjadi sebuah identitas budaya bangsa dan karya ini seolah menyindir dan memaksa kita untuk mempertimbangkan terus keberadaannya dalam kehidupan yang global ini. <br /><br />Dalam praktik seni rupa kontemporer, persoalan medium ungkap tak lagi dilihat secara ideologis atau tersekat-sekat. Dunia gagasan seolah menjadi keutamaan dan fisik karya merupakan kendaraan untuk strategi perupa menciptakan ruang-ruang pemaknaan. Penggunaan teknik bordir misalnya, yang lebih cenderung industrial, bisa dimanfaatkan sebagai alat dalam menghasilkan garapan artistik yang sesuai dengan ungkapan yang diinginkan maupun pemanfaatan dalam mencari watak atau karakter yang khas. <br /><br />Dalam pameran ini para perupa lebih mengutamakan watak khas serat benang untuk mengonstruksi imaji. Erik Pauhrizi menghadirkan potret – potret wajah pesohor sinema masa lalu, dengan bordiran hitam-putih seperti juga ada kesamaan watak drawing dengan garis maupun print, atau cetak mutakhir yang terdiri dari matrik dot maupun piksel. Sedangkan Eko Nugroho menggunakan watak bordir karena dalam keseharian masyarakat kontemporer, sering digunakan sebagai lencana (badge), mulai untuk seragam sekolah, pangkat kemiliteran, tanda lembaga pemerintah, hingga gang anak muda. Oleh karena itu bordir punya kaitan dengan identitas sosial. Sehingga dengan demikian gambar-gambar Eko yang bernuansa kritis namun jenaka mempunyai tempatnya yang pas.<br /><br />Bagi perupa lainnya , medium dan teknik industri tekstil menjadi supplemen, seperti karya karpet Radi Arwinda dengan ikon Apetnya. Ia banyak terobsesi dan terpengaruh seni kartun Jepang atau Manga yang kemudian dipadukan dengan corak – corak dari seni tradisi. Pencarian jatidiri Radi dalam menciptakan karakter kartun dengan potret dirinya membentuk identitas karya-karyanya, dengan meleburkan karakter awan “megamendung” yang diambil dari corak batik maupun ukiran Cirebon kedalam ranah artistik manga. Karya Car-Pet dan Sof-Pet disini menggunakan idiom benda-benda keseharian ; karpet yang dibuat secara khusus yang menampilkan karakter Apet dan juga pasangannya, berupa sebuah sofa dengan bentuk dasar dari gubahan megamendungnya. Corak – corak dalam karya Radi menyadarkan kita bahwa kekayaan tradisi menjadi mungkin untuk dikaji dan dijelajahi menjadi sesuatu ikon yang lebih bergaya global. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Tenun dan Tekstil Dalam Kehidupan Saat Ini</span><br /><br />Akhir kata, bahwa potensi seni tekstil di Indonesia merupakan suatu ladang gagasan yang mahaluas untuk dijelajahi serta dijadikan beragam bentuk artistik. Hasil – hasil tekstil, baik yang tradisionil maupun yang modern, yang manual maupun masinal mempunyai posisi penting dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Sebagai sebuah praktik budaya seperti hasil seni, tenun dan tekstil mempunyai fungsi simbolik. Oleh karena itu kajian – kajian terhadap perkembangan seni tenun tradisi dan sebagai medium ungkap seni kontemporer menjadi suatu kepentingan yang bakal mampu memberikan makna dalam formasi global saat ini. Bahkan pada saat ini kajian budaya mutakhir menjadikan seni tenun dan tekstil sebagai salah satu wahana dalam memahami suatu konteks budaya. Seorang akademisi Australia, Sue Rowly (1999: 7) mengatakan bahwa pada dasarnya hasil kriya seringkali digunakan sebagai bahan kajian ilmu pasca-kolonial. Alih-alih, kriya bisa digunakan untuk memaknai nilai diluar sejarah barat dan suatu model pertahanan yang kreatif tanpa harus disejajarkan dengan seni kontemporer barat yang mengarah pada praktik kritik, sebagai suatu keberbedaan (difference). Sebagai suatu wilayah alternatif penelusuran (trajectory) sejarah lokal yang khas.<br /><br />Oleh karena itu, pameran ini diharapkan memberikan suatu alternatif pengamatan terhadap pemaknaan seni tenun warisan leluhur dan sekaligus budaya kontemporer Indonesia saat ini. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Pameran Tenun Kontemporer<br />10 - 30 Juli 2009</span>Pasa Seni Ancolhttp://www.blogger.com/profile/18103134189167380928noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5206667128348959140.post-77300205540255819752009-07-26T20:49:00.000-07:002009-07-26T21:07:24.068-07:00“HYBRIDIZATION” Inauguration Of North Art Space<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/Sm0nIxGR_QI/AAAAAAAAAFk/8f7jIQaFr8U/s1600-h/DSC_3757.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 214px; height: 320px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/Sm0nIxGR_QI/AAAAAAAAAFk/8f7jIQaFr8U/s320/DSC_3757.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5362985762840247554" /></a><br /><br />“Dalam konteks seni rupa, perbincangan seputar hibridisasi diawali pada praktik seni rupa kontemporer di Indonesia terutama ketika dimulai dengan perdebatan pos-modern, sejak perhelatan besar Biennale – Jakarta IX di Taman Ismail Marzuki- Jakarta tahun 1993-94. Kurator Jim Supangkat dalam pengantarnya menggugat modernisme dan seni modern di Barat, serta munculnya gejala budaya yang menolak segala keteraturan dan kemapanan yang dibentuk sejarah seni rupa Barat. Posmodernisme merupakan gejala budaya dimana segala bentuk seni dan budaya-budaya berbaur dan bercampur, hingga pemikiran-pemikiran lokal dan tradisional terakomodasikan lewat ungkapan-ungkapan seni.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/Sm0lM5_brlI/AAAAAAAAAFE/H-KuNCZn2Z4/s1600-h/DSC_3506.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 214px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/Sm0lM5_brlI/AAAAAAAAAFE/H-KuNCZn2Z4/s320/DSC_3506.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5362983634923662930" /></a><br /><br />Hibridisasi seni rupa kontemporer, bukan saja berangkat dari pembauran medium dan budaya, tetapi juga bagaimana konstruksi pikiran dan bahasa rupa atau tanda-tanda yang telah bersilang dengan beragam jaman dan praktik-praktik sosial lainnya. Maka seiring dengan perkembangan jaman, praktik dan pemikiran seni rupa modern di Indonesia, hibridisasi menjadi suatu proses pembebasan diri terhadap dogma-dogma sejarah seni rupa barat (kolonialisme), mempertimbangkan adanya sejarah seni rupa modern Indonesia -termasuk pertumbuhan infrastruktunya- memberikan kemungkinan praktik seni yang melibatkan aspek - aspek kehidupan sosial masyarakat dalam pemikiran-pemikirannya, juga dengan mempertimbangkan budaya lokal. Maka hibridisasi menjadi proses pemikiran yang tengah berkecamuk dan berlangsung saat ini”. Itulah catatan Rifky Effendy sebagai kurator dalam pameran yang bertajuk “Hybridization” yang di helat dalam rangka Inauguration of North Art Space, pada hari Jumat 17 April 2009. Prosesi resminya akan diawali pada pukul 18.30 WIB dilanjutkan pameran yang akan berlangsung sampai tanggal 3 Mei 2009.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/Sm0lp4h7EoI/AAAAAAAAAFM/EvYxs0yhauw/s1600-h/DSC_3565.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 214px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/Sm0lp4h7EoI/AAAAAAAAAFM/EvYxs0yhauw/s320/DSC_3565.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5362984132747661954" /></a><br /><br />North Art Space (NAS) merupakan bentuk baru, yang dulunya merupakan galeri Pasar Seni Ancol. NAS hadir dengan semangat dan rasa baru. Menjadi pusat kegiatan pengembangan dan penyajian karya seni rupa yang dinamis, kreatif, inovatif, dan demokratis untuk meningkatkan apresiasi seni masyarakat Indonesia yang memiliki jati diri budaya kuat di tengah pergaulan dunia. NAS akan menjadi embrio bagi hadirnya ruang yang lebih besar, yaitu Pasar Seni Ancol itu sendiri. Kejayaan Pasar Seni Ancol kini perlu disegarkan kembali. Dan NAS akan menjadi sarana bagi seluruh seniman secara lebih terbuka. NAS merupakan bagian penting dari revitalisasi tersebut. “Ruang galeri yang baru telah berubah total. Kini arsitektur ruang dalamnya lebih berkesan clean, minimalis dan modern. Dari sisi ini sudah terlihat jelas NAS memang dibangun sebagai jawaban atas kebutuhan ruang publik bagi praktik seni rupa masa kini/kontemporer. Ruang seni yang dibangun diharapkan bisa menjadi ruang dialog serta interaksi budaya yang produktif bagi masyarakat”, begitu menurut Chris Dharmawan, dari Semarang Gallery.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/Sm0mDaaWVsI/AAAAAAAAAFU/an_LHS2eDUQ/s1600-h/DSC_3710.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 214px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/Sm0mDaaWVsI/AAAAAAAAAFU/an_LHS2eDUQ/s320/DSC_3710.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5362984571339429570" /></a><br /><br />“Hybridization” merupakan pameran pertama yang dilakukan oleh NAS, sekaligus menjadi acara pembukaan galeri secara resmi. Pameran ini dirancang bersama dengan Galeri Semarang, sebagai gallery partner. Hibridisasi seni rupa kontemporer tidak hanya saling membaurkan masalah medium, tetapi kehidupan masyarakat serta budaya lokal dan pemikiran-pemikirannya terakomodasi dalam proses pengungkapan karya seni.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/Sm0mcbs7HvI/AAAAAAAAAFc/HWKWj0708go/s1600-h/DSC_3633.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 320px; height: 214px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/Sm0mcbs7HvI/AAAAAAAAAFc/HWKWj0708go/s320/DSC_3633.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5362985001182502642" /></a><br /><br /><br />Seniman-seniman yang dipilih dalam pameran ini memamerkan karya-karya dalam beragam medium. Haris Purnomo, Arie Dyanto, Soni Irawan, Sapto Sugiyo Utomo, Galam Zulkifli, Andy Dewantoro, Hanafi, NGK Ardana, Gede Mahendra Yasa, Agus Sumiantra dan Irwan Bagja Dermawan (Iweng) memamerkan lukisan. Sementara Heri Dono, Agus Suwage, Yani Maryani, Ketut Moniarta dan Albert Yonathan menampilkan obyek/instalasi. Lalu dari fotografi/digital artwork diisi oleh FX Harsono, Indra Leonardi dan Davy Linggar. Adapun Jompet, Tromarama dan Prilla Tania menampilkan video art. Sedangkan Saftari bermain dengan dua medium: lukisan dan obyek/instalasi.Pasa Seni Ancolhttp://www.blogger.com/profile/18103134189167380928noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5206667128348959140.post-34929916003786140802009-03-12T23:42:00.000-07:002009-03-13T00:48:11.309-07:00NORTH Art Space. Gallery Baru di Pasar Seni Ancol<span style="font-weight:bold;">Pasar Seni Ancol, Jakarta,</span> tampaknya mulai merubah image dengan melakukan revitalisasi besar-besaran. <br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/SboIcxE7dcI/AAAAAAAAAEM/J1koItF_880/s1600-h/CIMG3810.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 300px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/SboIcxE7dcI/AAAAAAAAAEM/J1koItF_880/s400/CIMG3810.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5312568000740292034" /></a><br /><br />Gedung manajemen yang didalamnya terdapat banyak fasilitas dari kelas-kelas seni dan juga kantor Pasar Seni Ancol serta kantor Ancol Art Academy mulai dirombak. Galeri yang berada di atas juga dilakukan perombakan.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/SboJSPnD6pI/AAAAAAAAAEU/19u8IHcCXFg/s1600-h/CIMG3886.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 300px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/SboJSPnD6pI/AAAAAAAAAEU/19u8IHcCXFg/s400/CIMG3886.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5312568919469582994" /></a><br /><br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/SboJ9QcIJGI/AAAAAAAAAEc/7TJHguuPcxw/s1600-h/CIMG3898.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 300px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/SboJ9QcIJGI/AAAAAAAAAEc/7TJHguuPcxw/s400/CIMG3898.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5312569658426532962" /></a><br /><br />Desain ulangnya tampak lebih modern, walaupun belum selesai dan masih banyak material bangunan di depannya. Bagian dalamnya pun juga tampak nyaman dengan penikmat ruang pameran bisa terlihat dari bawah. Dan yang di bahwah bisa melihat suasana di galeri bagian atas.<br /><br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/SboLB02QYcI/AAAAAAAAAEk/yj-AeS-kYv8/s1600-h/CIMG3889.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 300px; height: 400px;" src="http://4.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/SboLB02QYcI/AAAAAAAAAEk/yj-AeS-kYv8/s400/CIMG3889.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5312570836430905794" /></a><br />Galeri Pasar Seni dengan sudut pandang dari lantai dasar.<br /><br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/SboLiaqBUcI/AAAAAAAAAEs/B59mBhTIxJc/s1600-h/CIMG3890.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 300px; height: 400px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/SboLiaqBUcI/AAAAAAAAAEs/B59mBhTIxJc/s400/CIMG3890.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5312571396335948226" /></a><br />Tangga menuju Galeri Pasar Seni Ancol di lantai 2.<br /><br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/SboMlLnFd1I/AAAAAAAAAE8/7xOxB2rm-CI/s1600-h/CIMG3891.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 300px; height: 400px;" src="http://2.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/SboMlLnFd1I/AAAAAAAAAE8/7xOxB2rm-CI/s400/CIMG3891.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5312572543348340562" /></a><br />Lantai 1 dilihat dari lantai 2.<br />Bagian relling tang terbuat dari kaca yang kuat menjadikan tempat ini lebih tampak berkelas.<br /><br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://3.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/SboGb5n30XI/AAAAAAAAAEE/-mEUmXUfEEU/s1600-h/luas.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 400px; height: 133px;" src="http://3.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/SboGb5n30XI/AAAAAAAAAEE/-mEUmXUfEEU/s400/luas.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5312565786831212914" /></a><br />Pemandangan di dalam galeri (lantai 2)<br />Sekarang tampak lebih luas dengan tata cahaya yang akan membuat karya-karya yang dipamerkan menjadi fokus dan berkelas.<br /><br />~~~<br /><br />NORTH Art Space. Itulah nama yang akan disematkan pada galeri baru di Pasar Seni Ancol ini. North Art Space (NAS) merupakan tempat berekspresi bagi para seniman di Indonesia. Tak hanya sebatas seniman di dalam Pasar Seni saja, tetapi seluruh seniman yang memenuhi kualitas untuk tampil melakukan ekshibisi di galeri atau area Pasar Seni Ancol.<br /><br />NAS diharapkan menjadi pusat kegiatan pengembangan dan penyajian karya seni rupa yang dinamis, kreatif, inovatif, dan demokratis untuk meningkatkan apresiasi seni masyarakat Indonesia yang memiliki jati diri budaya kuat di tengah pergaulan dunia yang pada akhirnya bermuara pada kegiatan bisnis yang mengontribusikan keuntungan untuk perusahaan<br /><br />Untuk mencapai hal tersebut maka NAS mengembangkan potensi karya seni rupa dengan mengedepankan kualitas karya. Mengembangkan karya seni rupa dengan memberi ruang kepada seniman berpotensi. Menghimpun, melestarikan, dan mengembangkan karya seni rupa dalam lingkup nasional maupun internasional. Memberdayakan kreatifitas dan profesionalisme pelaku seni melalui program pameran, pendidikan, penelitian, penukaran, workshop, kompetisi dan komitmen. Mengembangkan pemikiran, pandangan dan tanggapan terhadap karya seni rupa dalam kerangka peningkatan wawasan dan perluasan komunitas kreator dan apresiator. Memberikan pembelajaran seni kepada publik kelalui program yang bersifat edukatif-kultural dan rekreatif.<br /><br />Bisnis karya seni adalah sebuah bisnis yang tidak mengenal kata surut. Seiring berjalannya tahun, bisnis ini tetap berkembang seakan mengabaikan kondisi perekonomian global. Dari pengalaman beberapa galeri besar, ketika krisis ekonomi tahun 1997 melanda Asia termasuk Indonesia, bisnis ini tetap melangkah ke depan. Bahkan ketika krisis di Indonesia belum pulih, ada galeri Indonesia yang mampu membuka cabangnya di luar negeri seperti di Singapura. <br /><br />Membanjirnya perupa dan galeri dari Indonesia sebagai suatu berkah harus dibarengi dengan ketajaman indera bisnis pelakunya. Sisi komersialisasi suatu galeri akan dapat digali secara maksimal dengan menentukan strategi bisnis yang tepat<br /><br />Nama besar Ancol sebagai salah satu pelaku bisnis rekreasi yang berada di bawah payung pariwisata merupakan modal luar biasa. Pariwisata memiliki saling keterkaitan dengan seni, dimana pariwisata membutuhkan seni. Dalam hal ini seni ditempatkan pada posisi yang strategis yaitu sebagai salah satu obyek pariwisata bergengsi di Ancol Dengan berlokasi di ibukota negara, Ancol merupakan tempat yang strategis dalam memasarkan seni rupa karena merupakan tujuan turis domestic maupun asing.Pasa Seni Ancolhttp://www.blogger.com/profile/18103134189167380928noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5206667128348959140.post-75376915547107425242008-07-09T03:13:00.000-07:002008-07-09T05:21:38.761-07:00Pengumuman Nominator Jakarta Art Awards 2008Silakan klik di sini:<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://bp2.blogger.com/_0YYb6i0LSF4/SHStBc1bD7I/AAAAAAAAAQ8/XC_0alQ1TwA/s1600-h/nominasi+JAA+2008.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer;" src="http://bp2.blogger.com/_0YYb6i0LSF4/SHStBc1bD7I/AAAAAAAAAQ8/XC_0alQ1TwA/s400/nominasi+JAA+2008.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5220988108460986290" border="0" /></a><br /><span style="text-decoration: underline;"><br /></span><a href="https://www.yousendit.com/transfer.php?action=batch_download&batch_id=TTdHSkhlUzd6NFBIRGc9PQ"></a>Untuk para nominator, harap mengirimkan karya asli ke alamat:<br /><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">Panitia Jakarta Art Awards 2008</span><br /><span style="font-weight: bold;">Pasar Seni Ancol</span><br />Jl. Lodan Timur no. 7<br />Jakarta Utara<br />14430<br /><br />Sebelum tanggal 16 Juli 2008.<br /></div>MUSHO!!!http://www.blogger.com/profile/06932127659195313968noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5206667128348959140.post-21559408643411223292008-04-20T23:11:00.000-07:002008-04-20T23:38:37.780-07:00Jakarta Art Awards<p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">Pemerintah DKI Jakarta dan Pasar Seni Ancol Jakarta mengajak para pelukis Indonesia untuk berkompetisi secara terbuka dalam </span></span><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;"><b>Jakarta Art Awards 2008</b></span></span><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">. Kompetisi ini adalah untuk ketiga kalinya, setelah DKI Jakarta dan Pasar Seni Ancol sukses menyelenggarakan G</span></span><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;"><i>olden Palette Awards 2005</i></span></span><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;"> dan </span></span><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;"><i>Jakarta Art Awards 2006.</i></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><br /></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;"><b>TEMA : WARNA-WARNA JAKARTA</b></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><br /></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">Sub Tema:</span></span></p> <ol><li><p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">Jakarta Representasi Indonesia</span></span></p> </li><li><p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">Jakarta Dalam Balada</span></span></p> </li><li><p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">Jakarta Negeri Impian?</span></span></p></li></ol><br /><p style="margin-bottom: 0cm;"> </p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;"><b>Penghargaan dan Hadiah:</b></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">Memperebutkan 7 penghargaan dengan total hadiah Rp. 230.000.000,- </span></span> </p> <ul><li><p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">Piala Penghargaan + Piagam</span></span></p> </li></ul> <p style="margin-bottom: 0cm;"><br /></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;"><b>Dewan Juri:</b></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">1. DR. Ing. H. Fauzi Bowo (Kolektor, Gubernur DKI Jakarta)</span></span></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">2. Prof. DR. Miranda Goeltom (Pemerhati seni)</span></span></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">3. DR. Hc. Ir. Ciputra (Arsitek, kolektor)</span></span></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">4. Prof. Srihadi Soedarsono, MA. (Pelukis)</span></span></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">5. Drs. Nyoman Gunarsa (Pelukis)</span></span></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">6. Agus Dermawan T. (Kritikus seni)</span></span></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">7. Drs. Soewarno Wisetrotomo, M.Hum. (Kritikus, akademisi)</span></span></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">8. S. Malela Mahargasarie (Pengamat seni)</span></span></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">9. Efix Mulyadi (Pengamat seni)</span></span></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><br /></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;"><b>Syarat Keikutsertaan:</b></span></span></p> <ol><li><p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="color:#000000;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">Peserta minimal berusia 15 tahun, WNI dan berdomisili di Indonesia.</span></span></span></p> </li><li><p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="color:#000000;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">Peserta menyertakan fotokopi KTP atau identitas lain.</span></span></span></p> </li><li><p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="color:#000000;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">Media yang digunakan bebas dengan ukuran antara 50 sampai 200 centimeter.</span></span></span></p> </li><li><p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="color:#000000;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">Peserta mengirimkan foto lukisan dalam ukuran 10 R, dengan disertakan; judul lukisan, ukuran, media, tahun pembuatan yang ditulis di balik foto dengan disertai konsep, isi atau muatan karya yan dikompetisikan.</span></span></span></p> </li><li><p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="color:#000000;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">Peserta boleh mengirimkan maksimal 5 (lima) karya dan diwajibkan menyertakan 2 foto karya lain untuk referensi bagi Dewan Juri.</span></span></span></p> </li><li><p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="color:#000000;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">Karya yang boleh diikutkan adalah ciptaan tahun 2007 dan 2008.</span></span></span></p> </li><li><p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="color:#000000;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">Pelukis mengirimkan lukisan dengan biaya sendiri, dan panitia akan mengembalikan lukisan para pemenang dan finalis dengan biaya panitia.</span></span></span></p> </li><li><p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="color:#000000;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">Foto lukisan diterima selambat-lambatnya oleh panitia tanggal </span></span></span><span style="color:#000000;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;"><b>1 Juni 2008, </b></span></span></span><span style="color:#000000;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">cap pos</span></span></span><span style="color:#000000;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;"><b>.</b></span></span></span></p> </li><li><p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="color:#000000;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">Nominator kompetisi akan dihubungi secara tertulis oleh panitia dan akan diumumkan pada tanggal 22 Juni 2008.</span></span></span></p> </li><li><p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="color:#000000;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">Pemenang kompetisi akan diumumkan bulan Juli 2008 di Pasar Seni Ancol.</span></span></span></p> </li></ol> <p style="margin-bottom: 0cm;"><br /></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><br /></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><br /></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><br /></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;"><b>Alamat Panitia Lomba:</b></span></span></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">Karya-karya yang disertakan dikirim ke :</span></span></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">Panitia Jakarta Art Awards 2008</span></span></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">PASAR SENI ANCOL</span></span></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">Jl. Lodan Timur No. 7</span></span></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">Jakarta Utara, 14430</span></span></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">Telp./Fax. 021-64710319</span></span></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">CP : Drs. Bogang Suharno (081310636733)</span></span></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"> <span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">Dhanan (021 98762921)</span></span></p> <p style="margin-bottom: 0cm;"><span style="font-family:Verdana;"><span style="font-size:85%;">e-mail : jaa@ancol.com</span></span></p>MUSHO!!!http://www.blogger.com/profile/06932127659195313968noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5206667128348959140.post-76236438948090029432007-12-14T00:15:00.000-08:002008-01-03T00:00:28.261-08:00Laporan: Ancol World Music 2007<a href="http://2.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/R3yV2QBiWuI/AAAAAAAAACs/x_KgJuJWRMU/s1600-h/viky+Sianipar+on+stage.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;" src="http://2.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/R3yV2QBiWuI/AAAAAAAAACs/x_KgJuJWRMU/s320/viky+Sianipar+on+stage.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5151156833051892450" /></a><br /><a href="http://3.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/R3yVlgBiWtI/AAAAAAAAACk/FcUCjAQTmNI/s1600-h/Indra+Gilang.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;" src="http://3.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/R3yVlgBiWtI/AAAAAAAAACk/FcUCjAQTmNI/s320/Indra+Gilang.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5151156545289083602" /></a><br /><a href="http://1.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/R3yVFABiWsI/AAAAAAAAACc/ZC3kwTOb9-o/s1600-h/gilang+prabudi.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;" src="http://1.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/R3yVFABiWsI/AAAAAAAAACc/ZC3kwTOb9-o/s320/gilang+prabudi.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5151155986943335106" /></a><br /><a href="http://3.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/R3yU4gBiWrI/AAAAAAAAACU/EA47CME-IAs/s1600-h/balawan+tapping.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;" src="http://3.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/R3yU4gBiWrI/AAAAAAAAACU/EA47CME-IAs/s320/balawan+tapping.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5151155772194970290" /></a><br /><a href="http://3.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/R3yUIgBiWqI/AAAAAAAAACM/vBo4-CEwUro/s1600-h/Balawan+dan+batuan+ethnic.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;" src="http://3.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/R3yUIgBiWqI/AAAAAAAAACM/vBo4-CEwUro/s320/Balawan+dan+batuan+ethnic.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5151154947561249442" /></a><br />Sempat diguyur hujan sore hari. Tim sound sempat terjadi kesibukan kecil yang tiba-tiba, tenda yang kurang lebar segera diganti dengan tenda yang lebar. Hanya sebentar saja hujan turun, bikin Pasar Seni Ancol makin sejuk. Padahal sesiangan panasnya bagai ada 5 matahari di atas Ancol! <br />Beberapa latihan sempat tertunda. Namun tak mengurangi kenikmatan menonton pertunjukan langka ini.<br /><br />Jika anda datang ke Pasar Seni Ancol tanggal 8 Desember 2007 kemarin, maka anda akan merasakan rasa lain dari irama Indonesia. Musik etnik khas Indonesia bercampur dengan musik melodi masa kini. Tak jarang jika ditemukan banyak kejutan dalam pengalaman dengar kita.<br /><br />Pukul 19.30 WIB Shanaz Haque dan Farid Shigeta, selaku MC, langsung ngebuka acara yang bertema penghijauan ini. “Menanam, Menumbuhkan Harapan” tajuk acaranya. Kedua MC pun berkali-kali mengkampanyekan tentang bahaya eksploitasi hutan dan pentingnya reboisasi. Yang menarik, di depan panggung ada sekitar 4000 bibit pohon jati yg siap dibagkan kepada penonton di akhir acara.<br /><br />Acara dibuka dengan tarian multi etnis sambil menabuh tamborin. Tarian ini lebih menonjolkan etnis Jepang. Kemudian Viky Sianipar tampil dengan formasi yg kurang lebih sama dengan yang biasa ditampilin di Java Jazz. Membawain beberapa lagu dari album Toba Dreams dan Indonesian Beauty, Viky tampil atraktif bermain keyboard juga gondang batak di beberapa lagu. Teuku Rio juga mengiringi pementasan Viky Sianipar. Dengan membawakan musik cyang berjudul Journey to Deli dengan memberi ruang untuk jamming dengan beberapa player seperti pemain suling, gitar dan Viky sendiri pada keyboard. Palti Raja yang kerap dimaenkan juga asik banget dan bikin beberapa penonton manggut-manggut dan bergoyang-goyang. Sesudah pentas, Viky ngobrol sebentar dengan MC sambil nunggu set panggung buat next performer. Selain ngobrol, Viky juga 'dihadiahi' bibit pohon jati untuk ditanam.<br /><br />Musisi selanjutnya adalah kolaborasi tiga mantan personil Krakatau tampil berikutnya setelah Viky Sianipar. Yaitu; Indra Lesmana (piano), Gilang Ramadhan (drums) dan Pra Budhi Dharma (bass) yg tergabung dalam Kayon - The Three Of Life tampil asik banget. Meski cuma bertiga tapi musik mereka terasa penuh mengusung tema Indonesia secara keseluruhan, mereka memainkan lagu-lagu yg mewakili beberapa daerah Indonesia seperti Betawi, Jawa, Sunda, Bali dan Melayu. Kerennya, mereka tidak membutuh alat musik tradisional untuk menciptakan kesan etnik tersebut. Dentingan piano, pukulan drum dan cabikan bass mereka cukup mampu untuk membuat kesan etnik. Bahkan Indra Lesmana pun tak hanya memainkan tuts piano tapi juga memetik senar piano yg ada di dalam badan piano untuk mengeluarkan bunyi-bunyi yg unik. Seperti juga Viky, mereka pun sempat ngobrol sebentar dengan MC dan penonton, serta tak lupa diberi oleh-oleh bibit pohon jati..<br /><br />Musik Asia Selatan mengalun rancak. Diiringi tarian kembali menyelingi acara. Dua penari india yang tampil satu persatu meliuk-liuk di bawah panggung memukau penonton. Jangan salah, tari india yg ini jauh beda dengan yg biasa ada di film-film india.<br /><br />Selanjutnya Balawan tampil setelah tarian india tersebut. Seperti biasa, ia bersama rekan-rekan Batuan Etnik Fusion dan satu violis tamu. Balawan membawakan beberapa lagu yang sudah lumayan akrab di kuping penggemar jazz & world music seperti Magic Reong dan Mainz In My Mind.. Yang agak berbeda kali ini adalah Balawan tidak memainkan gitar double necknya melainkan dua gitar yg salah satunya dipasang di sisi panggung.. Malam itu juga tak ada atraksi 'tabuh perkusi' di gitarnya. Tapi itu tak mengurangi keasikan penampilannya karena beberapa lagu juga diperpanjang durasinya dengan jamming.. dan kselesai tampil, Balawan pun tak luput dari pemberian amanat penanaman pohon jati setelah sebelumnya sempet ngobrol2 dengan MC dan penonton.<br /><br />Simak Dialog tampil selanjutnya, nama yang unik ditambah kekhasan dari grup musik ini adalah kendang sectionnya. Ketiga personelnya itu terlihat menyatu dengan instrumen yg lain. Sengaja mereka memampatkan durasi musik mereka, karena versi aslinya memang sangat panjang, apalagi hari juga semakin malam. <br /><br />Selesai Simak Dialog, Nugie tampil akustikan. Agak janggal juga melihat Nugie tampil di tengah-tengah performe world music. Tapi memang tema acara itu memang sangat cocok untuk Nugie memang ikon dari kecintaan terhadap alam. Tampil minimalis dengan gitar akustik, Nugie sangat komunikatif dengan penonton. Bukan hanya karena lagu-lagunya yang sudah akrab di kuping penonton, tapi juga di tengah-tengah lagu Nugie menitipkan pesan-pesan tentang lingkungan hidup yang juga menyatu dengan lagunya.<br /><br />waktu Nera tampil menutup acara, scating vokalisnya mirip-mirip dengan seruan-seruan a la papua pedalaman.<br /><br />Acara yang menarik untuk selalu disimak dan memanjakan indera pendengaran. Sebuah pengalaman lain bagi rasa dalam batin. Mengobati rasa kangen pada impuls-impuls di Pasar Seni Ancol. Sampai Jumpa dalam Ancol World Music 2008.<br /><br />Tulisan dan beberapa foto dari Troy (http://sitroy.multiply.com/photos/album/20/Konser_Ancol_World_Music_Festival<br /><br /><a href="http://4.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/R2JCasA1ysI/AAAAAAAAAB8/V7hqUCx4kv8/s1600-h/CIMG0325.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;" src="http://4.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/R2JCasA1ysI/AAAAAAAAAB8/V7hqUCx4kv8/s320/CIMG0325.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5143746750669245122" /></a><br /><br /><a href="http://3.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/R2JLbcA1ytI/AAAAAAAAACE/78wLWsOkp3k/s1600-h/CIMG0326.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;" src="http://3.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/R2JLbcA1ytI/AAAAAAAAACE/78wLWsOkp3k/s320/CIMG0326.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5143756659158797010" /></a>Pasa Seni Ancolhttp://www.blogger.com/profile/18103134189167380928noreply@blogger.com9tag:blogger.com,1999:blog-5206667128348959140.post-88522468920273977792007-12-03T05:25:00.000-08:002007-12-03T06:14:22.970-08:00World Music<span style="font-family:verdana;">Sewaktu saya pertama kali melihat musik Viky Sianipar, secara tak sengaja karena niatnya nonton <span style="font-style: italic;">launching</span> album Sudjiwo Tedjo yang berjudul <span style="font-style: italic;">"Yaiyo"</span>, saya terkesima dan kagum dengan keindahan i</span><span style="font-family:verdana;">nstrumen musik Indonesia yang dibawakannya dengan cara yang berbeda. Beberapa instrumen musik yang digunakan pun tidak saya kenal, namun mempunyai jeni</span><span style="font-family:verdana;">s bunyi yang unik.<br /><br />Sebelumnya.<br />Dulu saya menyukai musik Djaduk Ferianto yang juga menggabungkan alat musik tradisional dengan alat musik modern. Malah semenjak kecil saya menyukainya, mungkin karena tinggal di kota yang sama d</span><span style="font-family:verdana;">an kental akan kegiatan keseniannya. Masih teringat sampai sekarang lagu <span style="font-style: italic;">"Menyanyi di Televisi" </span>dan <span style="font-style: italic;">"Kopi Bu Sukopi"</span>-nya Djaduk yang waktu itu nama bandnya, kalo tidak salah, Katebe. Bahkan bintang video klip</span><span style="font-family:verdana;">nya pun saya masih inget. Didik Nini Thow</span><span style="font-family:verdana;">ok. Dan ditayangkan di TVRI Jogja. Djaduk menggabungkan irama keroncong dengan rasa rock yang lembut lewat gitar listrik dan drum-nya. Terkadang suara ukulele menimpali. Walaupun saya tak yakin dengan ingatan masa kecil saya itu, namun lagu-lagu itu sampai sekarang masih terngiang di kepala.<br /><br />Saya tak tahu banyak tentang dunia permusikan. Membaca not aja saya kesusahan. Antara pentatonik dan diatonik </span><span style="font-family:verdana;">pun saya masih bingung. Namun saya juga terkagum-kagum saat Jaya Suprana, dalam sebuah acara di Jak-TV Jakarta, men</span><span style="font-family:verdana;">demonstrasikan dengan piano perbedaan antara intonasi musik dangdut, musik Sunda dan musik Jawa. Ai... betapa kayanya khasanah musik Indonesia ya!<br /><br />***<br /><br />Yang lebih mengagumkan lagi. Dan saya juga terkaget-kaget, setengah tak percaya. Aliran musik Indorock yang popul</span><span style="font-family:verdana;">er di Belanda lalu Eropa tahun 60'an diperkenalkan oleh putra-putra Indonesia. The Tielman Brothers nama grupnya. Asli Indonesia. Kebanyakan personelnya dari Maluku. Tapi memulai karir musiknya di Surabaya dan hijrah ke Belanda. Mereka menggabungkan musik keroncong y</span><span style="font-family:verdana;">ang terimbas juga budaya Portugis, dengan musik rock dan didominasi oleh permainan gitar yang mumpuni, maka lahirlah Indorock!<br /><br />Hanya ironisnya. Jarang masyarakat Indon</span><span style="font-family:verdana;">esia yang mengetahuinya. Jauh sebelum Jimy Hendrix memainkan gitar dengan gaya yang memukau, The Tielman Brothers sudah memulainya lebih dulu. Bahkan permainan musik dan aksi panggung mere</span><span style="font-family:verdana;">ka yang enerjik menjadi trend baru di Eropa waktu itu! Mereka sudah memainkan gitar dengan kaki, gigi, memainkan gitar di belakang kepala bahkan dipukul dengan stick drum! Dan kabarnya, Sir Paul McCartney yang anggota The Beatles itu mengakui jika musiknya terinspirasi dari The Tielman Brothers (jika anda sudah mendengarkan musik The Tielman, pasti ada kemiripan dengan beberapa aransemen The Beatles atau di lagunya Elvis). Dan saat The Tielman melakukan konser di Jerman, Elvis Presley pun menyempatkan diri untuk hadir di sana.<br /></span><br /><span style="font-family:verdana;">***<br /><br />Begitu kayanya khasanah musik Indonesi</span><span style="font-family:verdana;">a jika dieksplor. Digali. dan dikembangkan. Benih yang ditanam nenek moyang kita akan berkembang oleh anak-cucunya. Budaya tak pernah berhenti, dan sejarah tak pernah salah. Indonesia punya banyak budaya tinggi. Walau bangsa lain mengaku dirinya memilikinya, maka sejarah akan membenarkan dengan caranya.<br /><br />Hal ini juga yang mengilhami untuk dibuatnya suatu event yang mengeksplor khasanah musik Indonesia. <span style="font-weight: bold;">Tanggal 8 Desember 2007 ini</span>, bertempat di <span style="font-weight: bold;">Pasar Seni Ancol</span>, musisi-musisi Indonesia akan</span><span style="font-family:verdana;"> mengeksplor ragam musik tradisional. Inilah saatnya tradisionalisme bersatu dengan modernisme.</span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Dengan digawangi oleh <span style="font-weight: bold;">Indra Lesmana, </span></span><span style="font-family:verdana;"><span style="font-weight: bold;">Pra Budidharma, Gilang Ramadhan, Viky Sianipar, Balawan</span> dengan <span style="font-style: italic;">Batuan Etchnic Fusion</span>-nya, <span style="font-weight: bold;">Nugie, Riza Arshad, Tohpati </span>serta <span style="font-weight: bold;">Nera </span>mereka akan menunjukkan kekayaan musik Dunia dan In</span><span style="font-family:verdana;">donesia, khususnya. Tak lupa <span style="font-weight: bold;">Shahnaz Haque</span> dan <span style="font-weight: bold;">Farid Shigeta</span> akan memandu acara yang akan dimulai <span style="font-weight: bold;">jam 7 malam</span> itu.</span><br /><span style="font-family:verdana;"><br />Dunia begitu indah dengan iramanya.<br />Sayang jika acara ini sampai terlewatkan.<br />Paling tidak harus menunggu sampai tahun</span><span style="font-family:verdana;"> depan untuk menikmatinya lagi.<br /><br /><br /></span><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://4.bp.blogspot.com/_0YYb6i0LSF4/R1QMWvKHSWI/AAAAAAAAAH0/nruiIoa2HBk/s1600-R/WM+poster+A3.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer;" src="http://4.bp.blogspot.com/_0YYb6i0LSF4/R1QMWvKHSWI/AAAAAAAAAH0/UMuwYdAOrm4/s320/WM+poster+A3.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5139746659492120930" border="0" /></a><br /><span style="font-family:verdana;"><br /><br /></span>MUSHO!!!http://www.blogger.com/profile/06932127659195313968noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5206667128348959140.post-61118178896512725172007-11-12T23:37:00.000-08:002007-11-12T23:39:56.266-08:00KomunitasKOMUNITAS. Yang membedakannya dengan kerumunan adalah tujuan yang akan dicapai. Kerumunan umumnya tak punya tunjuan dan satu sama lain tak saling mengenal serta tak ada ikatan emosional yang membuat mereka berkumpul. <br />Menurut Rizalun, seniman dari Jogja, bahwa Komunitas akan bisa lahir dengan sendirinya di satu area sosial, lingkup profesional dan sebagainya sebagai tempat untuk mengakomodir segala daya dan pikirannya. <br />Ikatan emosional yang kuat yang sepikiran, walaupun kadang terjadi perbedaan pikiran didalamnya, membuat hubungan sosial di suatu komunitas menjadi kuat. Namun hubungan yang bersifat sosial inilah yang membuat suatu komunitas bisa kembang kempis jika tak mampu merawatnya. Namun jika berhasil merawatnya, komunitas akan menjadi kekuatan tersendiri dalam suatu golongan. Kekuatannya bisa sangat tak terduga, karena di dalamnya terdapat orang-orang yang memegang teguh ide besar dan tujuan bersama suatu komunitasnya. <br />Jenjang yang lebih tinggi dari komunitas adalah organisasi. Selain ikatan sosial dan emosional, organisasi mempunyai peraturan yang ditetapkan. <br />Dari sebuah pertanyaan yang keluar dari Arif Wicaksono, seorang DJ yang populer dengan nama DJ Bachox’s. Bisakah sebuah komunitas menciptakan sebuah tren? Kekuatan sebuah komunitas bisa saja menghasilkan suatu trend baru. Karena pesan yang disampaikan dijalankan, kebanyakan, dengan cara dari mulut ke mulut(getok tular). Suatu proses marketing yang saat ini sedang trend karena kekuatannya pengaruhnya pada konsumen melebihi iklan-iklan media konvensional.<br />Lewat pernyataan sikap dan pendapatnya suatu komunitas menjadi dikenal banyak orang dan besar dengan sendirinya. Contoh yang paling hangat adalah pernyataan Roy Suryo, yang mengatasnamakan komunitas Air Putih, dimana Roy Suryo memproklamirkan diri sebagai penemu lagu asli Indonesia Raya 3 stanza. Komunitas Air Putih menjadi dikenal banyak orang, walaupun Roy Suryo sendiri mendapat ratusan pujian dan sejuta makian dan sumpah serapah dari para netter dan para geeks.<br />Setiap komunitas mempunyai cirinya masing-masing. Dan kita tak dapat menutup mata jika antar komunitas saling ngotot dengan argumentasinya. Memang disitulah fungsinya. Suatu hal yang tidak salling melemahkan, namun menguatkan. <br />Sebuah kutipan dari bukunya Pramoedya Ananta Toer (Jejak Langkah); "... Kau tak akan sanggup melawan sendiri. Lawanlah dengan organisasi/komunitas, di situ kau akan menjadi besar." Begitu kurang lebihnya.Pasa Seni Ancolhttp://www.blogger.com/profile/18103134189167380928noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5206667128348959140.post-30060614814098195202007-11-12T23:27:00.000-08:002007-11-12T23:35:46.606-08:00Kutub Seni dan Komunitas yang HilangSEWAKTU saya bertemu teman saya di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, beberapa minggu lalu, obrolan tentang tumbuhan anthurium atau lebih dikenal dengan nama gelombang cinta yang harganya sedang ampun-apunan itu tiba-tiba bergeser ke obrolan tentang sebuah acara seni yang punya tema "Schopophilia Hiruk-Pikuk Seni Rupa" yang merupakan acara dari Jambore Seni Rupa Nasional VII yang diadakan di Pasar Seni tanggal 27 September sampai 6 Oktober 2002. Kebetulan teman saya itu juga menjadi salah satu peserta di acara itu, Saat itu dia masih tercatat sebagai mahasiswa Kedokteran Hewan UGM. Dengan menggebu-gebu dia menceritakan sedikit tentang bagaimana kehidupan seniman di masa itu, karena memang dia lebih tua beberapa tahun daripada saya.<br />"Acara Schopophilia itu sangat menarik." Paparnya dalam bahasa Jawa khas Jogja. "Jambore tahun itu sangat ramai, waktu itu antara seniman Jogja dan Jakarta memang ada suatu rivalitas, persaingan yang membuat kehidupan seni menjadi menarik dan dinamis. Seniman Jogja membawa kreatifitas khas Jogjanya yang dalam. Sedang seniman Jakarta khas dengan karyanya yang simpel. makanya jika ada diskusi seni akan selalu menarik dan ramai. seniman kedua kota selalu terlibat dalam argumentasi-asrgumentasi yang seru. Namun saat ini seniman Jogja tampaknya sudah mulai terseret dalam arus kesenian Jakarta. Jadi seni yang sekarang ini berkembangterasa monoton."<br />Pernyataan teman saya itu ternyata ditanggapi dengan manarik oleh seniman-seniman Jogja yang tergabung dalam forum Milisi (www.milisi.org) milik alumni Institut Seni Indonesia (ISI). Kebanyakan merasa tidak terima jika ada semacam “permusuhan” antara seniman Jogja dan Jakarta. Namun mereka meng-amini bahwa perbedaan dan persaingan adalah sesuatu yang perlu terus dihidupkan dalam berkesenian.<br />Seperti yang diungkapkan oleh Tanktermos, seorang anggota dari forum Milisi, bahwa rivalitas, pertentangan dan homogenitas dalam kesenian wajar saja.<br />Pendapat itu dikuatkan juga oleh Husni, anggota yang lain dalam forum itu, bahwa perbedaan dan persaingan akan selalu ada, dan selama perbedaan dan persaingan masih dalam koridor berkarya dan beradu argumen adalah hal yang wajar dan baik. Namun jika perbedaan dan persaingan mengarah pada adu jotos dan cacimaki itu sangat kekanak-kanakan dan wagu.<br />Namun bagi saya fenomena yang coba dipaparkan oleh teman saya yang ketemu di TIM itu saya sadari juga. Saya coba mengingat-ingat saat saya masih kuliah, orang-orang seangkatan saya dan teman-teman yang angkatannya di bawah saya yang mencoba mengabdikan diri dalam karya-karyanya sudah mengalami pola yang sama, dari cara berpakaian, belahan rambutnya, tas yang selempangkan, warna-warna pastel dan lain sebagainya. Ah, mungkin saja iya mungkin saja tidak. Itu kan proses dari perbedaan itu, maka muncullah perkembangan ini. Jadi fenomena dan buah bibir. Mungkin hanya trend mode. Mode kan juga salah satu bentu seni. Namun jika homogenitas itu benar terjadi.... Hiiii.... Betapa ngerinya!<br />Homogenitas benar-benar terjadi! <br />Tampaknya memang sedang terjadi. Silakan bayangkan kengeriannya. Jika seni punya gaya yang sama, homogen, dapat ditemui dimana-mana, maka tak perlulah berkomunitas. Toh semua seni jadi sama, tak perlu jauh-jauh lagi untuk menikmatinya apalagi mengkoleksi. Ditambah dalam era internet atau dunia maya ini, hanya dengan menggeser mouse komputer kita sudah bisa keliling dunia dari kamar kita. Menikmati Louvre atau mengikuti lelang di Christie. Komunitas-komunitas jadi surut. Mana ada yang mau bertandang lagi. Pasar Seni Ancol sepi. Galeri sepi. Pameran seni hanya ramai di awal karena pembukaannya selalu makan-makan. <br />-o0o-<br />Intinya adalah kebaruan, kalau boleh saya bilang, tapi kalau anda mau bilang lain ya silakan. Suatu perbedaan akan menumbuhkan hal baru. Entah itu kebaruan karena terinspirasi dari seni lama atau benar-benar baru. Namun dalam kebaruan yang identik dengan orisinilitas masih saja ada perdebatan di banyak seniman yang menganggap bahwa orisinalitas is bullshit! Karena tak ada hal yang baru, suatu hal baru pasti terinspirasi dari hal lain. Maka tak akan ada yang benar-benar baru. Anda mau setuju atau tidak dengan pandangan itu silakan anda sikapi masing-masing. Karena banyak sudut pandang akan menumbuhkan argumen yang berbeda-beda. <br />Modern menjadi posmodern. Budaya instan hasil modernitas. Adalah hasil utak-atik dari budaya lama. Dimantapkan dengan kemunculan MTV di tahun 1981 menjadikan kaum muda di era 80’ dan 90’an berpikir dengan cara yang sama. MTV mengolah segala perbedaan yang ada di dunia ini, mencampuradukkan satu sama lain. MTV menjadi kiblat bagi anak muda audiensnya. MTV punya cara yang beda dalam merangkul audiensnya. Gaya pembawa acara yang dinamai VJ (Video Jockey). Bahasa yang digunakan. Setting studionya yang warna-warni. MTV menjadi fenomena dalam dunia broadcasting.<br />Ah... Sudahlah tentang MTV! <br />Yang baru akan memunculkan hal baru, selama masih ada kutub-kutub yang berbeda. Dan setelah yang baru muncul, maka yang belakang tinggal sejarah. Sukur-sukur jadi inspirasi bagi munculnya sesuatu yang baru di masa depan.<br />Yang tak mengikuti? <br />Yang tak mengikuti hanya jadi penonton, mungkin setelah dia menjadi pemeran yang hebat di masanya. Lama kelamaan akan hilang dengan sendirinya. Atau tetap survive dengan sisa-sisa kekuatan yang ada. Atau tetap eksis dengan terjebak dalam kenangan-kenangan hebat di masa lalu. Dilupakan. Dikenangkan. Atau tetap menjadi pemeran kunci dengan hal-hal baru.<br /><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://2.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/RzlTp9-zhTI/AAAAAAAAABQ/JSLi20QmDv8/s1600-h/1pasaran.JPG"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;" src="http://2.bp.blogspot.com/_Sh6DgDm91U0/RzlTp9-zhTI/AAAAAAAAABQ/JSLi20QmDv8/s320/1pasaran.JPG" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5132225230843118898" /></a><br /><br />Perbincangan tentang ini <br />juga sedang berlangsung juga di <br />www.milisi.org<br /><span style="font-style:italic;">"Seniman; Antara Jogja dan Jakarta."</span>Pasa Seni Ancolhttp://www.blogger.com/profile/18103134189167380928noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5206667128348959140.post-2602366661502003652007-11-07T02:38:00.001-08:002007-11-07T02:43:38.364-08:00Gambar Jorok<a style="font-family: verdana;" onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="http://1.bp.blogspot.com/_0YYb6i0LSF4/RzGWISSwiAI/AAAAAAAAAHs/qhtUyujvWOo/s1600-h/uphil.jpg"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer;" src="http://1.bp.blogspot.com/_0YYb6i0LSF4/RzGWISSwiAI/AAAAAAAAAHs/qhtUyujvWOo/s320/uphil.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5130046519645341698" border="0" /></a><br /><span style="font-family: verdana;">Ini saya gambar dengan iseng di sela-sela pekerjaan. Suatu kelakuan, jujur saja, saya semasa kecil dulu. Ternyata saya juga menemui banyak teman yang kelakuannya seperti saya dulu!!!</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Dan entah mengapa, gambar ini banyak yang minta untuk dikoleksi. Dijadikan wallpaper komputer dan sebagainya. Saya pun memperbolehkannya. Termasuk kepada Anda yang juga mau mencopynya.</span><br /><br /><span style="font-family: verdana;">Apa menariknya ya gambar saya ini?</span><br /><span style="font-family: verdana;">hehehe</span>MUSHO!!!http://www.blogger.com/profile/06932127659195313968noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5206667128348959140.post-37513725162007991102007-11-06T20:54:00.000-08:002007-11-06T20:55:37.202-08:00Sejarah Pasar SeniPada tahun 1975 dengan bangunan sederhana yang terletak di antara Gelanggang Samudra dan Gelanggang Renang dimulailah kegaiatan Pasar Seni yang berlangsung selama tiga hari kemudian menjadi tujuh hari setiap bulan.<br />Setelah terbukti bahwa Pasar Seni memiliki daya tarik yang makin meningkat baik bagi para pengunjung maupun para seniman sendiri, maka dibangunlah sebuah kompleks permanen untuk menampung kegiatan para seniman dan pengrajin tersebut. Sejak Desember 1977, setelah diresmikan oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, berpuluh – puluh seniman dan pengrajin dari seluruh pelosok tanah air secara bergilir menempati satu di antara 114 bangunan / kios di Pasar Seni. Toko – toko yang menjual berbagai macam barang dan restoran atau warung juga tersedia di Pasar Seni.<br /><br />Di Area Terbuka pengunjung dapat menyaksikan acara – acara kesenian, baik tradisional maupun kontemporer, dalam suasana akrab dan santai.<br /><br />Bagi para penggemar barang – barang kerajinan atau karya seni, Pasar Seni merupakan “surga” barang – barang souvenir; dari mainan yoyo sampai patung kayu, dari sketsa hingga lukisan serta barang – barang kulit, perak dan hasil kerjanin lainnya.<br /><br />Dalam rangka turut menanamkan kesadaran masyarakat akan lingkugan hidup, Pasar Seni menyelenggarakan Pameran Seni Taman dan Arena Promosi serta Pameran dan Lomba Pohon Buah. Untuk menampung permintaan yang kian meningkat, Pasar Seni kini telah diperluas dengan penambahan beberapa kios lagi.<br /><br />Pasar Seni I, diresmikan pada tanggal 17 Desember 1977, terus berkembang dengan pesat sehingga perlu diperluas untuk menampung berbagai kegiatan yang bersifat kreatif, edukatif maupun rekreatif.<br /><br />Arena perluasan tersebut diresmikan pada tanggal 22 Agustus 1980 sebagai Pasar Seni II yang terdiri dari 97 bangunan dengan kegiatan utama berupa bengkel – bengkel, keramik, batik, ukiran, las, tenun serta kegiatan peragaan.<br /><br />Sebuah bangunan berlantai dua GALERI JAYA ANCOL telah diresmikan pada tanggal 17 Februari 1984. Lantai bawah dari bangunan ini adalah sebuah “Jendela ke dunia ilmu pengetahuan”. Dengan alat – alat peraga yang tersedia diharapkan dapat merangsang minat pelajar / remaja untuk mengetahui dasar – dasar imu pengetahuan.<br /><br />Sedangkan lantai atas dipergunakan untuk Ruang Pameran Seni Rupa, sebagai fasilitas bagi para Seniman untuk menggelar karyanya.Pasa Seni Ancolhttp://www.blogger.com/profile/18103134189167380928noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5206667128348959140.post-88779366283762130772007-11-06T19:23:00.000-08:002007-11-06T20:15:27.559-08:00Agenda Seni<span style="font-weight: bold; font-family: verdana;">Jakarta - Jumat, 9 November 2007<br /><br /></span><span style="font-size: 85%; font-family: verdana;">Diskusi Publik dengan tema “Respon Gerakan Demokrasi Terhadap Pemilu 2009 dan Kebutuhan Pemimpin Alternatif”.<br /><br />Waktu : Pukul 14.00 s/d selesai (Diakhiri dengan Prasmanan / Makan Sore)<br /><br />Tempat : Aula Universitas Paramadina, Jl. Gatot Subroto<br /><br />Turut mengundang sebagai Narasumber:<br />Rizal Ramly (Mantan Menteri Koordinator Perekonomian dan Keuangan), Agus Priyono (Salah Satu Pendiri Partai Rakyat Demokratik & Ketua Umum Partai Persatuan Pembebasan Nasional, Aristides Katoppo (Wartawan Senior & Redaksi Sinar Harapan), Bursah Zarnubi (Anggota DPR RI & Ketua Umum PBR), Hadar Gumay (Direktur Eksekutif CETRO)<br /></span><span style="font-weight: bold; font-family: verdana;"></span><span style="font-size: 85%; font-family: verdana;"><br /></span><span style="font-family: verdana;">________________________________________</span><br /><br /><span style="font-weight: bold; font-family: verdana;">Jakarta - Rabu, 7 November 2007</span><br /><br /><span style="font-family: verdana; font-size: 85%;">Diskusi Buku karya John Gray berjudul "Black Mass: Apocalyptic Religion and The Death of Utopia" (London: Penguin, 2007). Digelar oleh Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)<br />(London: Penguin, 2007)<br /><br />Pembicara:<br />- Rocky Gerung (Dept. Filsafat Universitas Indonesia)<br />- M. Guntur Romli (Komunitas Utan Kayu)<br /><br />Pukul 14.00 - Selesai<br /><br />Tempat: Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, Jl. Sawo No.11, Jakarta Pusat 10310.<br /></span><span style="font-family: verdana;"></span><span style="font-size: 85%; font-family: verdana;"><br />__________________________________________________<br /></span><span style="font-weight: bold; font-family: verdana;font-family:verdana;font-size:100%;" ><br />Jogjakarta</span><span style="font-weight: bold; font-family: verdana;font-family:verdana;" >, 03 Nov 2007 - 18 Nov 2007</span><h3 style="font-weight: normal; font-family: verdana;"><a href="http://jogja-gallery.com/agenda/mata_mata_jogja.html">Pameran Sketsa dan Fotografi 'MATA-MATA JOGJA': 'Menapaki Kota lewat Sketsa'</a></h3><span style="font-family: verdana;">_____________________________________________</span><br /><span style="font-weight: bold; font-family: verdana;font-family:verdana;font-size:100%;" ><br /><br />Jakarta, 1 - 30 November 07<br /><br /><span style="font-weight: bold;"><a href="http://artsummitindonesia.com/">ART SUMMIT INDONESIA V</a><br /><br />_________________________________________<br /></span><br />Yogyakarta, 26 - 27 November 07</span><span style="font-family: verdana;font-size:100%;" ><br /><br />Pergelaran Monolog Butet Kartaredjasa: S A R I M I N<br />sebuah kolaborasi bersama: Agus Noor, Pradjoto dan Djaduk Ferianto<br />dipentaskan dalam Art Summit V<br /><br />Purna Budaya, Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, Bulaksumur, UGM, Yogyakarta<br />pukul 20.00<br /><br />Tiket: Rp. 30.000,-/Rp. 50.000,-/Rp. 100.000,-<br /><br />___________________________________________<br /><br /></span><span style="font-weight: bold; font-family: verdana;font-family:verdana;font-size:100%;" >Jakarta - 14 s/d 18 November 2007</span><span style="font-family: verdana;font-size:100%;" ><br /><br />Pergelaran Monolog Butet Kartaredjasa: S A R I M I N<br />sebuah kolaborasi bersama: Agus Noor, Pradjoto dan Djaduk Ferianto<br />dipentaskan dalam Art Summit V<br /><br />Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta<br />pukul 20.00<br /><br />Tiket: Rp. 50.000,-/ Rp. 75.000,-/ Rp.100.000,-/Rp.150.000,-<br /><br />___________________________________________<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Surabaya - Senin, 12 November 07</span><br /><br />Pentas Teater "Cupak Tanah" persembahan Sanggar Banyuning (Buleleng, Bali)<br /><br />Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya.<br /><br />Pukul 20:00 WIB<br /><br />___________________________________________<br /><br />Surakarta - Sabtu, 11 November 07<br /><br />250 years of the Mangkunegaran Court in 2007<br /><br />Theme: ONCE IN A LIFE TIME EVENT<br />Venue: The Mangkunegaran Court, Surakarta.<br />Time: 07.00 pm<br /><br />Programs:<br />- A Cosmopolitan dinner at the Court of the Mangkunegaran<br />- The Amari Orchestra<br />- A Colossal Dance Perfomance of THE RISE OF THE MANGKUNEGARAN COURT (ADEGING PRAJA MANGKUNEGARAN) with 250- 300 dancers, elephants, horses, etc.<br /><br />___________________________________________<br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;">Jakarta - Depok - Kamis, 8 November 07</span><br /><br />FIB UI, Studi Klub Sejarah dan Komunitas Bambu mengundang Anda untuk menghadiri<br />Diskusi Buku "Greget Tuanku Rao" karya Basyral Hamidy Harahap<br /><br />MENGUJI KEPAHLAWANAN TUANKU IMAM BONJOL & TUANKU TAMBUSAI<br /><br />Tempat:<br />Gedung IV Ruang 4101 FIB UI Kampus UI Depok<br /><br />Pembicara:<br />- Basyral Hamidy Harahap (Penulis buku Greget Tuanku Rao)<br />- Indra Jaya Piliang (Peneliti di CSIS)<br />- Kasijanto Sastrodinomo(Pengajar di Dept. Sejarah FIB UI)<br /><br />___________________________________________<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Bandung - Kamis, 8 November 07</span><br /><br />Pentas Teater "Cupak Tanah" persembahan Sanggar Banyuning (Buleleng, Bali)<br />CCL - Jl. Setia Budhi No. 8 / 169 A Ledeng Bandung<br /><br />Pukul 20.00 WIB<br /></span>Pasa Seni Ancolhttp://www.blogger.com/profile/18103134189167380928noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5206667128348959140.post-54296471836658450852007-11-05T01:32:00.000-08:002007-11-05T01:33:39.983-08:00CendolPagi-pagi buta Timbulsukoco sudah membuka warung cendolnya. Entah kenapa harus pagi-pagi? Lha wong yang dijual juga es cendol. Apa nggak pada pilek itu yang minum? Memang sih cendol bisa diminum tanpa es-nya, tapi rasanya kurang mantap! Tapi itulah Timbulsukoco. Selalu taat omongan orang tuanya. “Le, sudah pagi. Ayo bangun! Kerja! Nanti rejekinya dipatok ayam!” begitu orang tuanya dulu berpesan. Maka dibukalah warungnya pagi-pagi. Padahal ketemu ayam yang doyan cendol pun Timbulsukoco belum pernah bertemu, apalagi berwiraswasta jualan cendol menjadi kompetitor es cendol Timbulsukoco.Warung cendol Timbulsukoco biasa saja. Sebuah bakul pikulan menjadi cirri khasnya. Dipajang di bawah pohon randu yang rindang. Para penikmat cendolnya pun hanya cukup duduk di kursi-kursi kecil yang disediakannya. Namun begitu, cendolnya laku sangat keras. Hingga sering kehabisan kursi kecil. Maka tikar-tikar pun digelar di bawah pohon itu. Ramai sekali setiap harinya.<br /><br />Cendol-nya adalah warisan turun-temurun dari orang tuanya. Bahkan kakek buyutnya sudah jualan cendol sejak jaman penjajahan dulu. Kakek Timbulsukoco bukanlah pejuang yang memegang bedil ikut mengusir penjajah Belanda, Jepang, Inggris, Amerika dan kroni-kroninya dari Indonesia. Dia hanya penjual cendol. Sekedar penghilang haus bagi para pejuang di masa itu. Banyak pejuang yang mampir atau memesan cendol dari kakek Timbulsukoco. Lalu dibawa sebagai bekal di medan perang. Cendol kakek Timbulsukoco memang enak. Enaaaaak sekali! Cendolnya asli dari beras putih. Kuahnya dari gula merah yang dimasak dengan ramuan-ramuan tertentu. Santannya dari kelapa pilihan. Para pejuang tergila-gila dengan cendol buatan kakek Timbulsukoco itu. Cendol-nya sangat terkenal hingga keluar daerah. Bahkan terkenal di telinga para penjajah. Banyak cara dilakukan penjajah untuk menghancurkan kios cendol kakek Timbulsukoco yang di bawah pohon randu itu. Karena penjajah menilai bahwa cendol kakek Timbulsukoco membantu pejuang, terutama dalam menghilangkan rasa haus.<br /><br />Resep cendol kakek Timbulsukoco diwariskan turun-temurun. Hingga Timbulsukoco-lah generasi ke 7 dari keturunan kakeknya yang memproduksi cendol. Rasanya hampir tak berubah sejak kakeknya berjualan dulu. Cendol Timbulsukoco yang menempel dilidah menimbulkan citarasa tersendiri, seperti melayang-layang. Ditambah kuah manisnya menimbulkan sensasi yang luar biasa. Kini cendolnya sudah sangat terkenal. Baru dibuka pagi ini aja Kang Setro sudah malit. Stand by. Datang paling duluan ke warungnya Timbulsukoco. Tanpa perlu bilang apa-apa lagi, segelas cendol sudah tersedia di depan Kang Setro. Lalu Budhe Parti sama keponakannya yang cantik. Diikuti Pakdhe Yuki. Trus beberapa pengedara motor. Lalu beberapa mobil dengan seisi keluarga di dalamnya. Pokoknya langsung rame. Padahal masih pagi.<br />“Dik Parto, apa ndak kewalahan pembeli sebanyak ini kok yang ngelayani cuman sendirian?” Kata Budhe Parti sambil menyeruput es cendolnya penuh nikmat.<br />“Ndak Budhe. Udah biasa. Lha wong ya tiap harinya juga begini.”<br />“Mending cari pembantu aja mas!” Seru Kang Setro tiba-tiba.<br />“Ah… nggak ah! Gini aja sudah cukup. Bisa kok saya! Dulu simbah-simbah saya bisa. Malah dulu satu tangan aja bisa bawa lima mangkok cendol…!”<br />“Haha… kayak warung nasi Padang aja!” Timpal Lik Towir tiba-tiba.<br />“Iya Mbul, kalo ada tambahan pelayan kan jadi tambah enteng kerjaannya. Banyak lho Mbul ini pembelinya. Itu yang di sana itu. Yang nunggu di bawah pohon manggis itu udah setengah jam lho nunggu. Trus itu yang pake mobil itu, anaknya udah nangis-nangis dari tadi, sampe dia capek sendiri! Kalo saya sih udah dapet cendol dari tadi. Lha wong malit jhe! Tak seruput dikit-dikit biar gak cepet habis. Lha wuenak jhe!” kata Kang Setro.<br />“Hoooalaaahhh!” keluh Timbulsukoco.<br />“Dulu sih pernah saya punya. Tapi malah bikin repot! Nggak cak… cek… malah udah berapa mangkok itu yang pecah. Ya… tak berhentiin!”<br />“Wah cari karyawannya yang bagus donk! Yang berpendidikan! Berdedikasi terhadap dunia per-cendolan! Kalo perlu yang sarjana!” Bu Dharmi juga akhirnya ikut bicara.<br />“Halah… lha wong ini juga cuman jualan cendol aja lho buu… bu! Masa cari sarjana. Memang ada universitas jurusan cendol apa?” Kang Towir mengejek.<br />“Lho di jaman serba maju inikan gak ada salahnya sarjana jualan cendol. Kerjaan itu susah mas. Ato jadi tukang sapu aja kayak mas Towir ini?” Bu Dharmi tak mau kalah.<br />“Biar nyapu asal halal… hehehe…!” Jawab Kang Towir. “Gini-gini juga saya sudah punya perusahaan penyapu. Sapu saya sudah lima! Karyawan saya ada 3! Siip tho?!”<br />“Haissyah!”<br /><br />Timbulsukoco tergopoh-gopoh membawa senampan penuh mangkok cendol. Dengan cekatan dia membagi-bagikan kepada pelanggannya lalu kembali lagi ke tempat duduknya, meracik cendol, santan dan cairan gula merah dalam mangkok-mangkok cendol.<br />“Tuh kan capek!”<br />“Udah biasa!”<br />“Ntar kecapean gak bisa bikin cendol lho.”<br />“Tenang aja, jamu pegel linu memang tok cer!”<br /><br />Sudah puluhan tahun perusahaan keluarga berupa cendol ini menghidupi keluarga Timbulsukoco. Walaupun terkenal sampai kemana-mana namun warung cendol Timbulsukoco ya cuman satu-satunya itu. Dekat dengan rumahnya yang juga warisan dari kakeknya. Rumahnya juga biasa saja. Tak ada istimewanya bagi seorang pedagang cendol yang larisnya bukan main. Tiap hari dia hanya jalan kaki untuk ke “kantornya”. Tak lebih dari 100 meter dari rumahnya kok.Saran-saran seperti yang dilontarkan pelanggan-pelanggan setianya itu sudah tak mempan lagi di telinganya. Karena itu semua sudah dicobanya. Dia pernah punya pelayan yang otaknya segedhe kacang mede sampai yang pintarnya mengalahkan Albert Einstein.<br />“Kalo nyari karyawan diiklanin di Koran aja mas Timbulsukoco! Biar yang ndaftar banyak!”<br />“Ini lagi! Koran-koran! Idemu itu nggak mutu! Huuu… ramutu!”<br /><br />Pernah dulu Timbulsukoco punya karyawan yang biasa saja. Tampangnya biasa. Gayanya biasa. Hidupnya biasa. Karyawan yang biasa saja gampang disuruh. Gak pernah melawan. Dan selalu nurut. Namun ternyata Timbulsukoco nggak betah sama karyawan macam itu. Jadi tak ada yang spesial. Sama saja dengan yan lain. Malah dengan pelayan semacam itu pembelinya pernah mandeg, alias berhenti di empat puluh sembilan ribu tiga ratus tujuh puluh satu orang perhari!<br /><br />Timbulsukoco juga pernah hampir suka dengan karyawannya yang sarjana. Lulusan Universitas negeri terkenal di negeri ini. Fresh graduate dari sekolah magister di Perancis. Suka ikut seminar dan pelatihan berbagai macam kegiatan. Tapi Timbulsukoco malah gak betah sampai tiga hari bersama karyawannya yang punya intelektual tinggi itu. Kenapa? Apa-apa selalu dihubungkan dengan teori-teori dalam buku yang penah dibacanya. Sebagian waktu kerjanya malah dihabiskan untuk berteori.<br /><br />Pegawai yang bandel pun Timbulsukoco pernah merasakannya. Sarjana juga sih. Tapi pas-pasan. Nilainnya pas-pasan. Uangnya pas-pasan. Tampangnya pas-pasan. Cumlaude pun tidak. Apalagi magna cumlaude.Tetapi bandelnya minta ampun. Cara melayani pembeli juga nyentrik. Sambil jungkir balik dan berakrobat! Lain dari yang lain. Walhasil para pengunjung senang bukan main. Makin banyak pengunjung yang datang membeli karena pelayanan yang tak menjemukan itu. Tapi, Timbulsukoco benci dengan gayanya. Walaupun pengunjung jadi semakin banyak, dia tak mau tahu. Dia khawatir banyaknya pengunjung itu hanya sementara. Dan kelakukan pegawainya itu malah akan merusak warungnya saja. Apalagi dia suka mengkritik cara melayani si Timbulsukoco yang dinilai kadaluwarsa. DIPECATLAH dia!<br /><br />Mending begini saja. Sendiri melayani pembeli. Dulu kakek bisa kok. Malah pembelinya lebih banyak.Belakangan dia menyesal. Pegawai bandel yang dipecatnya ternyata membuka warung cingcau. Cingcaunya enak. Enaaaakkkk sekali. Rasanya bagai melayang melewati langit ketujuh. Maka banyak juga pembelinya. Malah cingcau bikinan pegawai bandel itu sudah menjadi franchise yang gerainya meliputi seratus delapan puluh empat Negara di dunia. Termasuk Amerika Serikat!<br /><br />Cingcau itu menjadi trend dunia. Mengalahkan restoran siap saji macam Mc Donald. Makan cingcau menjadi trend anak muda yang mendunia. Lebih keren makan cingcau daripada makan hamburger di Mc Donald. Semua hal di inspirasi oleh cingcau-nya pegawai bandel Timbulsukoco itu. Di Milan, Italia, trend mode pun didominsai oleh warna hijau cingcau. Bahkan pemerintah Perancis rela mengecat menara Eiffel dan Arc de Triomphe menjadi hijau cingcau. Amerika pun tak mau kalah. Dia membikin film Spiderman dengan musuh utamanya adalah monster cingcau.<br /><br />“Dik Timbulsukoco, katanya pegawai dhik Timbulsukoco yang… adhuh namanya lupa aku… pokoknya yang nyentrik itu lho… yang dulu dipecat sama dik Timbulsukoco di depan pembeli… siapa ya?”<br />“Yang mana Budhe Parti?”<br />“Halaahh… kok lupa aku? Itu lhooo….”“Oh yang itu… adhuh aku juga lupa…”<br />“Ash… pokoknya itulah… denger-denger dia sekarang sukses jadi direktur perusahaan besar lho.”<br />“Oooo…”<br />“Iya dik Timbulsukoco. Itu lho perusahaan es cingcau WENAK!”<br />“Lhoh… cingcau WENAK itu punyaan itu tho… sapa namanya? Halah lupa aku!” Seru Kang Setro.<br />“Iya Kang.” Jawab Budhe Parti.<br />“Malah dia juga buka warung cingcaunya sampae Amerika!”<br />“AMERIKA?!”<br />“Ya pantes aja… enak sih cingcaunya. Saya dulu pernah makan cingcau di WENAK itu. Bayangin! Saya nabung seminggu nggak makan siang cuma buat mau makan cingcau WENAK itu!”<br />“Lhoh sama… sekarang saya juga lagi nabung, saya sampai lembur nyapu biar bisa makan es cingcau WENAK!”<br />“Eh… ngomong-ngomong cingcau WENAK mau buka yang baru lho… itu deket hotel yang tanahnya dulu punyanya mbah Sukerto!”<br />“Ah masa?”<br />“Ah iya?”<br />“Ah.. syiiikkk!”<br /><br />Timbulsukoco sibuk kesana-kemari melayani pembelinya. Dia tak tertarik membicarakan bekas karyawannya yang dulu dipecatnya. Bikin sakit hati! Dasar pegawai tengil!<br /><br />***<br /><br />Pagi seperti biasanya Timbulsukoco membuka warungnya. Sebelumnya dia memandangi sebuah poster berwarna hijau yang tertempel di pohon randu tempat biasa dia membuka warung. Poster iklan es cingcau WENAK yang terkenal ke seantero dunia. Sudah dua bulan cingcau WENAK berdiri. Gerainya besar magrong-magrong. Papan namanya dengan simbol huruf “W” pun sampai kelihatan dari warung cendol Timbulsukoco.<br /><br />Cingcau WENAK tiap harinya tak pernah sepi. Tempatnya bersih. Pelayanannya lain dari yang lain. Cepat dan sangat nyentrik. Bahkan ada yang berakrobat. Membawa gelas-gelas penuh cingcau sambil berjungkir balik. Bahkan ada yang memakai skateboard. Ada juga yang sambil bergelantungan seperti Tarzan. Semua pembeli pun sangat terhibur dan senang. Yang datang kebanyakan menggunakan mobil. Parkirnya pun gratis. Namun karena terlalu banyak pengunjung maka mobil yang parkir pun sampai kemana-mana. Tapi jangan kuatir. Parkir di luar area cingcau WENAK masih tetap aman kok. Karena pihak perusahaan WENAK.corp memperbolehkan para penduduk setempat membuka parkiran. Selain itu para penduduk mendapatkan pemasukan. Ditambah lagi setiap cingcau WENAK akan tutup, selalu membagi-bagikan cingcau pada para tukang parkir itu. Para tuKang parkir pun senang bukan kepalang. Sangat senang mendapat cingcau WENAK dengan gratis. Ada yang memakannya pelan-pelan. Bahkan ada yang diawetkan dan dipajang di ruang tamu rumahnya.<br /><br />Dibukanya warung cendolnya dengan langkah malas. Pekerjaan Timbulsukoco memang agak lega. Tak banyak pembeli dalam dua bulan terakhir ini. Tapi masih ada saja orang yang datang. Tak seramai dulu. Sekarang kursi-kursi kecil tak sering kehabisan. Malah sering tersisa. Tapi paling tidak Kang Setro masih sering mampir tiap pagi ke warungnya. Kang Towir sudah agak jarang, mungkin seminggu sekali saja. Katanya uangnya buat ditabung untuk membeli es cingcau WENAK. Timbulsukoco jadi tak lagi repot. Malah dia sering ketiduran atau tidur-tidur ayam menunggu pembeli. Budhe Parti juga sudah tidak terlihat, keponakannya lebih senang cingcau WENAK, karena kemasannya bisa dikoleksi dan buat mejeng bersama teman-teman sekolahnya.<br />“Enak ya Mbul ya! Sekarang kalo mau minum cendolmu nggak perlu lama-lama antri lagi.”<br />“Yaaa.. begitulah… Hooaaaahem.”<br />“Lho Mbul… itu kan iklannya cingcau WENAK kan?! Wahhh… bagus ya… liat kertasnya kinclong.”<br />“Yaaa… begitulah.”<br />Kang Setro sambil berdiri menghampiri poster itu. “Mbul… Mbul… bagus ini! Ini iklannya buat saya ya! Mau tak pigura! Tak pajang di ruang tamuku! Boleh ya Mbul? Wah pasti kamar tamuku jadi tambah ngantheng! Ato ini sengaja kamu pajang di sini Mbul?”<br />“Yaaa… ambil aja!”<br />“Aseeekkk….!” Kang Setro melepas poster itu dari pohon dengan hati-hati agar tidak sobek. Tapi walaupun sudah hati-hati tetap masih saja ada yang sedikit sobek di beberapa tempat, Kang Setro tetap sumringah menatap poster “miliknya” itu.<br />“Mbul… Mbul…” sambil menggulung posternya. Kok es cendolmu ini nggak masang iklan kayak es cingcau WENAK itu tho Mbul<br />Halah… ngapain Kang?! Gini aja udah rame kok! Ngabis-ngabisin uang aja! Orang juga udah tau kok gimana kualitas dan enaknya cendol warisan mbah buyut saya ini.”<br />“Lhooo… biar kayak ini. Cingcau WENAK!”<br />“Kang… saya ini buka warung cendol udah lama Kang! Puluhan tahun! Bahkan sejak kakek buyut saja yang jaman VOC itu! Apalagi cendol saya ini udah kondang. Saben hari juga banyak yang datang.”<br />“Lha ini… kok sepi?”<br />“Yaa… ya… lagi sepi aja. Besok kan rame lagi. Mungkin mereka lagi bosen. Kan orang butuh istirahat to Kang. Refreshing. Haa… ini refreshing lidah!”<br />“Na itu! Bosan! Para pembelimu bosan! Itu-ituuu aja!”<br />“Lha emang itu-itu aja! Orang yang tak jual cuman cendol! Mau diapain? Cendol ya cendol. Bentuknya yang kayak gitu-itu sejak jaman Belanda!”<br />“Weeee… saya dulu seneng lho waktu kamu itu ganti mangkok. Dari gelasmu yang udah kuotornya minta ampun itu. Malah pada cuil-cuil. Pindah ke mangkok putih ini… lho… yang ada gambar ayamnya. Jadi lebih nikmat!”<br />“Ya.. kan gelas-gelas itu emang udah usang. Perlu diganti. Makanya ganti yang baru! Ya mangkok itu! Bereskan!”<br />“Beres! Tapi ngomong-ngomong Mbul ya… maaf lho ini… sorry… menurut saya ya Mbul… tapi… maaf lagi lho ini… anu Mbul. Kan… anu…”<br />“Ona… anu… ona… anu apa to Kang?”<br />“Anu… kan … maaf lho ini… sorry… kan buka warung cendol ini kan udah lama. Sejak jaman penjajahan. Kok… anu…”<br />“Apasih?”<br />“Anu Mbul… kok warungnya cuman gini-gini aja? Di siniii terus… ya… begini-begini aja.”<br />“Kang…. Begini aja udah banyak yang datang. Untung besar! Mau apa lagi? Nanti kalo tak gedhein dikira kemaruk!”<br />“Lha itu… cingcau WENAK?! Baru tiga tahun aja udah buka cabang sampai Amerika!”<br /><br />***<br /><br />Cingcau WENAK semakin laris saja. Sedang cendol Timbulsukoco makin merana di bawah pohon randu. Banyak juga yang parkir di depan warung Timbulsukoco. Mobil-mobil mewah. Tapi itu karena lahan parkir yang paling dekat dengan cingcau WENAK sudah habis. Maka mereka pun sampai memarkir mobilnya di depan warung Timbulsukoco.Timbulsukoco hanya memandang mobil-mobil yang nebeng parkir di depan warungnya. Pengunjungnya sekarang bisa dihitung dengan jari. Cendolnya memang masih enak. Masih terkenal. Tapi ketenarannya sudah tertutup oleh ketenaran cingcau WENAK. Hanya orang yang kebetulan masih ingat saja menyempatkan mampir. Pernah Timbulsukoco memberi diskon sampai 70% barang dagangannya. Cara itu memang berhasil namun hanya sesaat. Sesudah itu…<br /><br />Omongan Kang Setro mulai menjadi pikiran bagi Timbulsukoco. Mungkin ada benarnya. Timbulsukoco terlalu terjebak dalam sejarah sukses masa lalu cendolnya. Terjebak dalam euforia-euforia yang sudah tidak njamani lagi di jaman ini. Cara masa lalu kakek buyutnya masih saja dibawa di jaman yang serba cepat ini. Timbulsukoco sadar bahwa dia termasuk kaum nostalgik yang menganggap masa lalu adalah kehidupan ideal, menganggap masa ini adalah hidupnya dan masa depan adalah hal yang aneh. Hingga akhirnya warung Timbulsukoco semakin sepi. Terus merugi. Hidupnya lambat laun mulai susut. Semuanya di ujung tanduk. Cendol paling enak di dunia rintisan kakek buyut yang dulu banyak membantu pejuang itu sedang diujung tanduk. Menunggu mati.<br /><br />Cendolnya memang enak. Tapi dia lupa mengkomunikasikannya pada masyarakat. Cendolnya sehat, asli dari bahan alami. Tapi dia lupa untuk merawat konsumennya. Cendolnya yang enak sudah bertahan bertahun-tahun. Tapi dia lupa bahwa suatu saat ada orang lain yang mengikuti jejaknya untuk menjadi kompetitor. Dia lupa untuk merawat mereknya. Dia malas. Sangat malas. Penakut. Takut sekali akan hal baru. Produknya hanya cendol. Tak pernah berubah sejak dulu. Hingga konsumen bosan dan meninggalkannya.<br /><br />***<br /><br />Pohon-pohon cingcau milik tetangga Timbulsukoco semakin subur. Belakangan banyak tetangganya menanam pohon cingcau. Kualitasnya pun bagus. Daunnya sehat-sehat dan hijau. Ini tak lepas dari pemilik WENAK.corp untuk memberi pelatihan bagi penduduk sekitar gerai untuk menanam cingcau sebagai pemasukan bagi kehidupan masyarakat sekitar. Pelatihan yang diberikan bermacam-macam. Semuanya berhubungan dengan cingcau. Bagaimana memilih bibit yang baik. Memupuk. Lahan tanam. Dan sebagainya.Cingcau di daerah Timbulsukoco pun melimpah. Dengan kualitas yang bagus dan melimpah, maka harga menjadi murah. Selalu saja habis dibeli oleh perusahaan WENAK.corp untuk menyupali gerai-gerai yang lain. Masyarakat mulai terangkat tingkat perekonomiannya. Hanya satu yang makin terpuruk.<br /><br />***<br /><br />Pemilik WENAK.corp mendengar kisah Timbulsukoco. Mantan majikannya itu tenggelam dalam kemiskinan yang tak terbayangkan. Bagaimana tidak? Hidupnya sangat tergantung dengan cendol. Cendol adalah gantungan hidupnya. Cendollah yang menghidupi anak istrinya. Kini cendolnya merana menunggu mati. Jika benar mati, maka matilah Timbulsukoco.WENAK.corp menawarkan bantuan pada warung Timbulsukoco. Subsidi bermacam barang dan uang pun mengalir. Bahkan warung cendol Timbulsukoco dipasok cingcau dari WENAK.corp. Sebagai rasa terimaksih, kata pemilik gerai cingcau terbesar sedunia itu. Kalau dulu dia pernah menjadi karyawan di warung Timbulsukoco. Di warung Timbulsukocolah dia banyak belajar. WENAK.corp tak pernah memberitahu pada konsumen bahwa cingcau yang enak itu juga dipasok ke warung Timbulsukoco.<br /><br />Warung Timbulsukoco mulai kembali naik pamornya. Kini ada cingcau yang rasanya sama seperti di gerai WENAK. Harganya murah lagi. Di warung Timbulsukoco sangat murah. Rasanya sama. Hanya saja tak memakai kemasan yang membuat prestisius seperti milik gerai WENAK. Kehidupannya mulai membaik. Tak lupa di rumahnya dia juga menanam pohon cingcau kualitas terbaik. Sekarang warung Timbulsukoco juga beriklan. Tentu saja dibantu oleh WENAK.corp. bahkan WENAK.corp menawarkan diri untuk mengelola cendol Timbulsukoco agar menjadi lebih besar. Timbulsukoco tinggal duduk di rumah saja, menanti uang yang terus mengalir seperti air.<br /><br />Kini cendol Timbulsukoco menjadi milik WENAK.corp. Dipertahankan ciri cendol Timbulsukoco yang berada di bawah rindanganya pohon Randu dengan angin semilir yang membauai. Kini setiap gerai WENAK di seluruh dunia dilengkapi pohon randu. Cingcau WENAK kini punya varian baru yang tak kalah nikmatnya. Tak perlu susah untuk menemukan gerai-gerai WENAK. Huruf “W” yang menjadi logo perusahaan itu sudah sangat terkenal di mana-mana. Lebih terkenal dari pulau Bali. Jika Anda kebetulan melewati gerai WENAK. Cobalah untuk mampir. Nikmati rasa baru dari WENAK; Randu Cendol namanya. Sudah terkenal kenikmatannya dimana-mana.<br /><br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;">Dhanan Arditya</span>Pasa Seni Ancolhttp://www.blogger.com/profile/18103134189167380928noreply@blogger.com1