SEWAKTU saya bertemu teman saya di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, beberapa minggu lalu, obrolan tentang tumbuhan anthurium atau lebih dikenal dengan nama gelombang cinta yang harganya sedang ampun-apunan itu tiba-tiba bergeser ke obrolan tentang sebuah acara seni yang punya tema "Schopophilia Hiruk-Pikuk Seni Rupa" yang merupakan acara dari Jambore Seni Rupa Nasional VII yang diadakan di Pasar Seni tanggal 27 September sampai 6 Oktober 2002. Kebetulan teman saya itu juga menjadi salah satu peserta di acara itu, Saat itu dia masih tercatat sebagai mahasiswa Kedokteran Hewan UGM. Dengan menggebu-gebu dia menceritakan sedikit tentang bagaimana kehidupan seniman di masa itu, karena memang dia lebih tua beberapa tahun daripada saya.
"Acara Schopophilia itu sangat menarik." Paparnya dalam bahasa Jawa khas Jogja. "Jambore tahun itu sangat ramai, waktu itu antara seniman Jogja dan Jakarta memang ada suatu rivalitas, persaingan yang membuat kehidupan seni menjadi menarik dan dinamis. Seniman Jogja membawa kreatifitas khas Jogjanya yang dalam. Sedang seniman Jakarta khas dengan karyanya yang simpel. makanya jika ada diskusi seni akan selalu menarik dan ramai. seniman kedua kota selalu terlibat dalam argumentasi-asrgumentasi yang seru. Namun saat ini seniman Jogja tampaknya sudah mulai terseret dalam arus kesenian Jakarta. Jadi seni yang sekarang ini berkembangterasa monoton."
Pernyataan teman saya itu ternyata ditanggapi dengan manarik oleh seniman-seniman Jogja yang tergabung dalam forum Milisi (www.milisi.org) milik alumni Institut Seni Indonesia (ISI). Kebanyakan merasa tidak terima jika ada semacam “permusuhan” antara seniman Jogja dan Jakarta. Namun mereka meng-amini bahwa perbedaan dan persaingan adalah sesuatu yang perlu terus dihidupkan dalam berkesenian.
Seperti yang diungkapkan oleh Tanktermos, seorang anggota dari forum Milisi, bahwa rivalitas, pertentangan dan homogenitas dalam kesenian wajar saja.
Pendapat itu dikuatkan juga oleh Husni, anggota yang lain dalam forum itu, bahwa perbedaan dan persaingan akan selalu ada, dan selama perbedaan dan persaingan masih dalam koridor berkarya dan beradu argumen adalah hal yang wajar dan baik. Namun jika perbedaan dan persaingan mengarah pada adu jotos dan cacimaki itu sangat kekanak-kanakan dan wagu.
Namun bagi saya fenomena yang coba dipaparkan oleh teman saya yang ketemu di TIM itu saya sadari juga. Saya coba mengingat-ingat saat saya masih kuliah, orang-orang seangkatan saya dan teman-teman yang angkatannya di bawah saya yang mencoba mengabdikan diri dalam karya-karyanya sudah mengalami pola yang sama, dari cara berpakaian, belahan rambutnya, tas yang selempangkan, warna-warna pastel dan lain sebagainya. Ah, mungkin saja iya mungkin saja tidak. Itu kan proses dari perbedaan itu, maka muncullah perkembangan ini. Jadi fenomena dan buah bibir. Mungkin hanya trend mode. Mode kan juga salah satu bentu seni. Namun jika homogenitas itu benar terjadi.... Hiiii.... Betapa ngerinya!
Homogenitas benar-benar terjadi!
Tampaknya memang sedang terjadi. Silakan bayangkan kengeriannya. Jika seni punya gaya yang sama, homogen, dapat ditemui dimana-mana, maka tak perlulah berkomunitas. Toh semua seni jadi sama, tak perlu jauh-jauh lagi untuk menikmatinya apalagi mengkoleksi. Ditambah dalam era internet atau dunia maya ini, hanya dengan menggeser mouse komputer kita sudah bisa keliling dunia dari kamar kita. Menikmati Louvre atau mengikuti lelang di Christie. Komunitas-komunitas jadi surut. Mana ada yang mau bertandang lagi. Pasar Seni Ancol sepi. Galeri sepi. Pameran seni hanya ramai di awal karena pembukaannya selalu makan-makan.
-o0o-
Intinya adalah kebaruan, kalau boleh saya bilang, tapi kalau anda mau bilang lain ya silakan. Suatu perbedaan akan menumbuhkan hal baru. Entah itu kebaruan karena terinspirasi dari seni lama atau benar-benar baru. Namun dalam kebaruan yang identik dengan orisinilitas masih saja ada perdebatan di banyak seniman yang menganggap bahwa orisinalitas is bullshit! Karena tak ada hal yang baru, suatu hal baru pasti terinspirasi dari hal lain. Maka tak akan ada yang benar-benar baru. Anda mau setuju atau tidak dengan pandangan itu silakan anda sikapi masing-masing. Karena banyak sudut pandang akan menumbuhkan argumen yang berbeda-beda.
Modern menjadi posmodern. Budaya instan hasil modernitas. Adalah hasil utak-atik dari budaya lama. Dimantapkan dengan kemunculan MTV di tahun 1981 menjadikan kaum muda di era 80’ dan 90’an berpikir dengan cara yang sama. MTV mengolah segala perbedaan yang ada di dunia ini, mencampuradukkan satu sama lain. MTV menjadi kiblat bagi anak muda audiensnya. MTV punya cara yang beda dalam merangkul audiensnya. Gaya pembawa acara yang dinamai VJ (Video Jockey). Bahasa yang digunakan. Setting studionya yang warna-warni. MTV menjadi fenomena dalam dunia broadcasting.
Ah... Sudahlah tentang MTV!
Yang baru akan memunculkan hal baru, selama masih ada kutub-kutub yang berbeda. Dan setelah yang baru muncul, maka yang belakang tinggal sejarah. Sukur-sukur jadi inspirasi bagi munculnya sesuatu yang baru di masa depan.
Yang tak mengikuti?
Yang tak mengikuti hanya jadi penonton, mungkin setelah dia menjadi pemeran yang hebat di masanya. Lama kelamaan akan hilang dengan sendirinya. Atau tetap survive dengan sisa-sisa kekuatan yang ada. Atau tetap eksis dengan terjebak dalam kenangan-kenangan hebat di masa lalu. Dilupakan. Dikenangkan. Atau tetap menjadi pemeran kunci dengan hal-hal baru.
Perbincangan tentang ini
juga sedang berlangsung juga di
www.milisi.org
"Seniman; Antara Jogja dan Jakarta."
Senin, 12 November 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar