Minggu, 26 Juli 2009

Pameran Tenun Kontemporer :Merajut Waktu Menjalin Makna

Tenun dan Seni Tradisi yang Berevolusi.

Kain tenun dan hasil tekstil lainnya adalah suatu warisan kekayaan peninggalan para leluhur bangsa Indonesia yang tak ternilai harganya. Hampir seluruh kelompok etnis di wilayah Nusantara hingga saat ini masih melakukan pembuatan tenun, baik secara turun temurun maupun dalam wilayah industri kecil dan menengah. Hasil-hasil tenun dari Nusantara juga menjadi salah satu bentuk artefak budaya yang paling menyebar dihampir seluruh museum dibelahan dunia. Kekaguman pada corak atau motif dan pola-pola yang rumit namun indah serta halus dan mempunyai kandungan makna budaya menjadikan para pencinta kain tenun dan peneliti diseluruh dunia mengakui bahwa estetika kain tenun di Indonesia memang begitu beragam dan bernilai budaya tinggi.


Oleh Rifky Effendy

Maka selain sebagai identitas budaya, hasil-hasil tenunan dan tekstil lainnya memainkan peranan penting dalam kehidupan sosial - ekonomi masyarakatnya. Dibeberapa daerah di tanah air, seperti kain batik telah menjadi industri yang bukan hanya mendatangkan pendapatan bagi sekelompok orang, tetapi menjadi sumber pendapatan daerah dan mungkin saja negara. Karena bagaimanapun kain tenun dan hasil tekstil lainnya masih dipergunakan untuk upacara – upacara khusus adat – istiadat dan ritual lainnya, bahkan penggunaannya masih berlangsung dalam keseharian masyarakat. Dalam perkembangannya, secara inovasi, kain tenun telah mengalami evolusi dalam teknik maupun coraknya. Namun dari bahan, motif serta pola tersebut kita pun bisa menangkap pengaruh-pengaruh jamannya. Bahkan dalam penerapannya kain-kain tenun bisa menjadi materi yang menarik dijadikan gubahan yang dikreasikan pada pakaian oleh para disainer fesyen kontemporer maupun untuk kain pelapis atau Upholstery. Ini juga menunjukan bahwa seni tradisi tidaklah mandek, bahkan sebaliknya menunjukan kreativitasnya.




Pameran “Merajut Waktu Menjalin Makna” merupakan suatu tinjauan bagaimana hasil tenun Nusantara terus berkembang sesuai dengan perubahan-perubahan sosial, budaya dan ekonomi masyarakatnya. Oleh karenanya, mengamati pola-pola, motif dan warna serta penerapannya menjadi sangat penting. Karena sebagai praktik budaya, elemen-elemen didalam kain tenun mempunyai makna simbolik yang terkait dengan faktor eksternal seperti sosial,politik dan kebudayaan. Hal ini bisa dicermati dari tingkat kehalusan teknik tenun, materi atau bahan hingga penerapan motifnya.

Pengaruh kontak budaya melalui jalur – jalur perdagangan dari peradaban lampau, hingga kemudian dengan rentang masa era kolonial, telah menghasilkan beragam olahan artistik dalam kehidupan seni tradisi khususnya kain tenun. Pengaruh ini samasekali tidak melemahkan keberadaan seni tenun sebagai sebuah bentuk seni tradisi dalam konteks kehidupan sakral , tapi justru memperkaya nilai-nilai estetikanya. Bahkan lebih jauh bila ditelusuri dan pencermatan melalui motif-motifnya, niscaya kita bisa membaca tanda-tanda budaya atau narasi. Oleh karena itu seni kriya , khususnya seni tenun mempunyai dimensi nilai simbolik. Seperti yang dikatakan seorang pemerhati kain tenun songket Minang berkebangsaan Swiss, Bernhard Bart, yang mengemukakan bahwa keunikan motif lama songket Minangkabau adalah setiap motif mengandung makna filosofis. (Kompas, 17 February 2006)

Bersama-sama Tria Basuki dan Yayasan Cita Tenun Indonesia (CTI), yang mengembangkan secara khusus kain tenun nusantara, menyeleksi karya-karya tenun pengembangan tradisi dengan keberagaman teknik dasar serta corak artistik. Puluhan ragam hasil tenun dari berbagai wilayah ditampilkan di NAS, mulai dengan pola yang delicate ; rumit serta halus dengan pola stilasi bentuk dan geomteris yang berlapis seperti dari Aceh, Minangkabau dan Palembang, hingga yang tampak lebih bebas dengan pola sederhana maupun figuratif, namun dinamis seperti dari Bali, Nusa Tenggara atau warna cerah dari Makassar, serta Badui yang lebih minimalis serta didominasi warna yang gelap. Sehingga keluasan wilayah ini memberikan kita gambaran bagaimana praktik tenun merepresentasikan juga estetik sebuah masyarakat yang majemuk. Adapula karya-karya perancang mode ternama maupun benda-benda keseharian yang menggunakan tenun maupun dilapisi kain tenun sebagai suatu alternatif yang secara kreatif bisa dikembangkan lebih lanjut.

Seni Tekstil Kontemporer

Seiring dengan praktik tenun tradisi, praktik seni tekstil sebagai bagian dari praktik seni rupa modern -selain seni lukis dan patung- juga berlangsung, terutama dilembaga pendidikan seni rupa modern. Walaupun keberadaannya dibawah jurusan desain (di FSRD ITB) dan Kriya (di ISI-Jogja), yang lebih mengarah pada seni terapan, tetapi saat ini beberapa alumninya mengembangkan bentuk ungkapan artistik yang individual seperti juga bentuk karya seni murni. Tetapi kemunculannya dalam dunia pendidikan seni modern begitu sangat terlambat. Seperti halnya yang pernah diutarakan oleh kritikus Sanento Yuliman (alm.) , dalam sebuah artikel pameran tahun 1986 menyebutkan bahwa: Gerakan seni rupa modern kita – yang kota dan kelas menengah itu – tidak cepat tanggap akan kenyataan seni tenun dan tekstil lainnya dalam budaya masyarakat kita, beliau mengemukakan kritiknya :

Modernisme, khususnya pada tahap awal dan pada kebanyakan perupa, telah menjangkitkan rabun dekat : melihat tradisi bangsa sendiri secara samar-samar. Lahir dari kandungan penjajahan dan kontak kebudayaan, gerakan seni modern di tanah air kita dengan bersemangat merengkuh gagasan-gagasan Barat dan sejarah seni Eropa. Gagasan tentang keutamaan seni lukis (dipandang sebagai induk seluruh seni rupa), gagasan rendahnya kriya (craft), tentang asas individualisme dalam seni, dianggap sahih secara universal. Dalam pada itu, lambannya komunikasi menyebabkan perubahan dalam seni dan estetika Barat, terutama yang mutakhir, tertangkap hanya sayup – sayup dan ditanggapi dengan keraguan. (Sanento, 2001: 186) 1

Dalam wacana modernisme barat yang dikotomis, praktik kriya bahkan dihubungan dengan lawan dari seni murni (lukis-patung) yang superior, jenius, maskulin. Praktik kriya (keramik, tekstil, kayu, dan lainnya) dianggap lebih cenderung inferior, terlalu kolektif agraris, feminin. Walaupun saat ini dikotomi itu memudar tapi dalam keseharian, dominasi seni lukis masih terasa. Maka baru sekitar tahun 1972 studio tekstil dibuka di FSRD – ITB, yang menunjukan bahwa adanya keterlambatan dalam menanggapi pemikiran-pemikiran terhadap seni modern dan bahkan dalam mempertimbangkan kekayaan praktik budaya nusantara. Bahkan sebenarnya studio tekstil disana lebih mengarah pada pemenuhan dunia industri tekstilnya. Perkembangan kemudian, praktik seni berbasis tekstil dan serat dalam lingkungan akademisi menghasilkan perupa-perupa tekstil yang mengembangkan bentuk karya individual seperti tapestri , batik, hingga instalasi. Biranul Anas, Ratna Panggabean, Hasanudin, Yusuf Efendy, Lengganu, Sunaryo, Zaini Rais mungkin beberapa nama yang muncul dengan karya-karya seni tekstil dan serat sejak dekade 1980-an.

Karya-karya serat yang tampil dalam pameran kali ini, seperti Biranul Anas dan John Martono misalnya tetap menjelajahi berbagai teknik dan artistik seperti menjalin benang, memilin, mencelup, mengikat, menenun dan membatik hingga bordir yang cenderung industrial, di dalam suatu bentuk karya tapestri serta bentuk trimatra. Biranul sering menjelajahi materi-materi dasar serat dengan menggabungannya beberapa material dan bereksperimen dengan bentuk-bentuk trimatra, dengan pola-pola yang melintas batas formalisme tradisional. Ungkapan-ungkapan individu secara langsung diartikulasikan lewat gubahan warna, tekstur dan pola yang lebih bebas dari pakem –pakem maupun pola tertentu seperti pada karya-karya John Martono. Begitupun dengan karya-karya Caroline Rika, Abdul Sukur dan Rifqi Sukma yang eksploratif terhadap kemungkinan material yang dipermainkan dalam wujud karya yang cenderung mementingkan interaksi imajinatif.

Seperti yang diutarakan Sujud Dartanto, kurator dalam pameran “textstyleproject” di Bentara Budaya Jogjakarta, bahwa: “ Bentuk visual karya mereka berbeda dengan lazimnya seni serat yang orang lihat pada seni batik dan tapestri misalnya. Dalam terma masa kini, karya-karya mereka memperlihatkan bentuk kontemporer. Artinya, cara mereka membentuk tidak ingin terikat pada pakem gaya tradisional. Penjelahan bentuk ini membuka bentuk pengucapan personal. Membentuk stilisasi dan gaya tersendiri. Di sini kita bisa mengapresiasi bahwa karya-karya mereka ini membuka peluang untuk melakukan berbagai penjelahan bentuk baru. Benang dalam hal ini menjadi karya objek yang tersusun dari berbagai macam unsur material. Bidang seni serat ini jelas tidak meninggalkan aspek craftsmanship, ketelitian dalam menentukan dan memilih bahan. Ketiganya berkutat pada bagaimana unsur benang bisa sedapat mungkin melahirkan bahasa artistik. Juga nampak bahwa unsur benang mereka artikan pula sebagai sebuah teks yang tengah menenun dan membentuk dirinya menjadi sebuah style.”

Selain bertiga diatas, jelajah bentuk trimatra yang meruang juga dilakukan oleh Nuri Fatima yang menggunakan banyak teknik menata kain perca atau patchwork. Karyanya berupa himpunan bentuk-bentuk seperti gunung atau bantal kerucut menjadi simbol personal dari suatu kenangan pribadinya dan kemudian mengajak pengamat untuk lebih aktif masuk pada dunianya. Sedangkan sekumpulan perupa muda , Kelompok Simponi (Sindikat Monster Poni) dari Jogjakarta yang terdiri dari Dian Ariyani, Elia Nurvista, dan Gintani Nur Apresia Swastika, menghadirkan gubahan karya membentuk teks “ MADE IN CHINA” yang terdiri dari susunan huruf-huruf dengan dibungkus kain batik sehingga memberikan makna yang ambigu bahkan ironis. Motif dan kain batik menjadi sebuah identitas budaya bangsa dan karya ini seolah menyindir dan memaksa kita untuk mempertimbangkan terus keberadaannya dalam kehidupan yang global ini.

Dalam praktik seni rupa kontemporer, persoalan medium ungkap tak lagi dilihat secara ideologis atau tersekat-sekat. Dunia gagasan seolah menjadi keutamaan dan fisik karya merupakan kendaraan untuk strategi perupa menciptakan ruang-ruang pemaknaan. Penggunaan teknik bordir misalnya, yang lebih cenderung industrial, bisa dimanfaatkan sebagai alat dalam menghasilkan garapan artistik yang sesuai dengan ungkapan yang diinginkan maupun pemanfaatan dalam mencari watak atau karakter yang khas.

Dalam pameran ini para perupa lebih mengutamakan watak khas serat benang untuk mengonstruksi imaji. Erik Pauhrizi menghadirkan potret – potret wajah pesohor sinema masa lalu, dengan bordiran hitam-putih seperti juga ada kesamaan watak drawing dengan garis maupun print, atau cetak mutakhir yang terdiri dari matrik dot maupun piksel. Sedangkan Eko Nugroho menggunakan watak bordir karena dalam keseharian masyarakat kontemporer, sering digunakan sebagai lencana (badge), mulai untuk seragam sekolah, pangkat kemiliteran, tanda lembaga pemerintah, hingga gang anak muda. Oleh karena itu bordir punya kaitan dengan identitas sosial. Sehingga dengan demikian gambar-gambar Eko yang bernuansa kritis namun jenaka mempunyai tempatnya yang pas.

Bagi perupa lainnya , medium dan teknik industri tekstil menjadi supplemen, seperti karya karpet Radi Arwinda dengan ikon Apetnya. Ia banyak terobsesi dan terpengaruh seni kartun Jepang atau Manga yang kemudian dipadukan dengan corak – corak dari seni tradisi. Pencarian jatidiri Radi dalam menciptakan karakter kartun dengan potret dirinya membentuk identitas karya-karyanya, dengan meleburkan karakter awan “megamendung” yang diambil dari corak batik maupun ukiran Cirebon kedalam ranah artistik manga. Karya Car-Pet dan Sof-Pet disini menggunakan idiom benda-benda keseharian ; karpet yang dibuat secara khusus yang menampilkan karakter Apet dan juga pasangannya, berupa sebuah sofa dengan bentuk dasar dari gubahan megamendungnya. Corak – corak dalam karya Radi menyadarkan kita bahwa kekayaan tradisi menjadi mungkin untuk dikaji dan dijelajahi menjadi sesuatu ikon yang lebih bergaya global.

Tenun dan Tekstil Dalam Kehidupan Saat Ini

Akhir kata, bahwa potensi seni tekstil di Indonesia merupakan suatu ladang gagasan yang mahaluas untuk dijelajahi serta dijadikan beragam bentuk artistik. Hasil – hasil tekstil, baik yang tradisionil maupun yang modern, yang manual maupun masinal mempunyai posisi penting dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Sebagai sebuah praktik budaya seperti hasil seni, tenun dan tekstil mempunyai fungsi simbolik. Oleh karena itu kajian – kajian terhadap perkembangan seni tenun tradisi dan sebagai medium ungkap seni kontemporer menjadi suatu kepentingan yang bakal mampu memberikan makna dalam formasi global saat ini. Bahkan pada saat ini kajian budaya mutakhir menjadikan seni tenun dan tekstil sebagai salah satu wahana dalam memahami suatu konteks budaya. Seorang akademisi Australia, Sue Rowly (1999: 7) mengatakan bahwa pada dasarnya hasil kriya seringkali digunakan sebagai bahan kajian ilmu pasca-kolonial. Alih-alih, kriya bisa digunakan untuk memaknai nilai diluar sejarah barat dan suatu model pertahanan yang kreatif tanpa harus disejajarkan dengan seni kontemporer barat yang mengarah pada praktik kritik, sebagai suatu keberbedaan (difference). Sebagai suatu wilayah alternatif penelusuran (trajectory) sejarah lokal yang khas.

Oleh karena itu, pameran ini diharapkan memberikan suatu alternatif pengamatan terhadap pemaknaan seni tenun warisan leluhur dan sekaligus budaya kontemporer Indonesia saat ini.

Pameran Tenun Kontemporer
10 - 30 Juli 2009

Tidak ada komentar: