Minggu, 26 Juli 2009

“The RUNNING STARS”, Menghargai Penghargaan Seni

Pameran Lukisan
North Art Space
7 - 31 Agustus 2009


Dalam pameran “The Running Stars” yang menawarkan serentang bintang seni lukis Indonesia ini kita berjumpa dengan lukisan-lukisan para juara berbagai kompetisi seni lukis. Yakni kompetisi yang diadakan di bawah bendera Golden Palette Art Awards 2005, JAA (Jakarta Art Awards) 2006 serta JAA 2008. Ketiga kompetisi ini diadakan oleh Pasar Seni Ancol dan Pemerintah DKI Jakarta. Apabila JAA merupakan kompetisi yang bersifat nasional, maka Golden Palette Art Awards hanya untuk para pelukis di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.

Pameran ini menjadi penting jika ditilik betapa para juara itu lahir dari sejumlah kompetisi yang ketat. Bayangkan, pada JAA 2006 misalnya, pelukis yang berpartisipasi sebanyak 1197, dengan karya yang diikutkan lebih dari 3200. Pada JAA 2008 ada 941 pelukis yang ikut dengan 3456 lukisan. Menjadi pemenang di antara begitu banyak kompetitor, tentu merupakan prestasi yang luar biasa.

Dengan menghitung para pelukis yang berhasil menjadi pemenang utama serta pemenang dengan predikat “penghargaan khusus”, ketiga ajang kompetisi di atas menghasilkan 30 juara. Kami menyadari untuk menggelar secara serentak karya 30 pelukis terbaik itu tidaklah mungkin, karena North Art Space, tempat pameran ini digelar, memiliki keterbatasan ruang. Oleh karena itu Panitia lalu memilih 14 di antaranya, dengan harapan selebihnya akan ditampilkan pada kesempatan berikutnya.

Maka dalam pameran ini kita segera berjumpa dengan lukisan Suraji (Yogyakarta), Boyke Aditya Krishna (Yogyakarta), Cubung Wasono Putro (Jakarta), Cucu Ruchyat (Bandung), Dwijo Widiyono (Bekasi), Edi Sunaryo (Yogyakarta), Hanafi (Depok), I Ketut Sadia (Bali), Melodia (Yogyakarta), Noer Dhami (Demak), Paul Hendro (Jakarta), Sapto Sugiyo Utomo (Klaten), Teguh Wiyatno (Yogyakarta).

Meski sejak awal telah menegaskan gaya karyanya secara kuat, dalam pameran ini sebagian dari mereka melakukan sejumlah perubahan. Namun perubahan yang mengindikasikan perkembangan itu tetap merengkuh karakter yang sejak semula menjadi ciri eksistensinya. Sehingga kita tetap melihat karya mereka sebagai manifestasi sang juara, seperti yang sudah kita kenal beberapa waktu lalu.

Suraji tetap dengan kritik sosialnya yang sinis namun sangat estetik. Boyke dengan kekuatan dekoratif surealis yang begitu halus dan belum ada duanya di Indonesia. Cubung dengan fantasinya yang liar serta persepsinya yang ganjil atas kehidupan kota besar. Cucu Ruchyat dengan figur-figur komikal yang dipresentasikan lewat perfeksi teknik menakjubkan. Dwijo Widiyono dengan ungkapan bentuk yang bergesek antara realitas dan abstraksi, di atas warna-warna beraroma Jawa. Edi Sunaryo dengan kekuatan fantasi yang sanggup mempuitisasi benda-benda, disertai kelembutan pengerjaan amat mempesona. Hanafi dengan presentasi abstrak yang elok serta memancing imajinasi. Ketut Sadia dengan kebebasan mengolah ciri tradisional Bali khas Batuan lewat tema-tema sosial yang aktual.

Lalu Melodia dengan satir-satir kemasyarakatan yang disampaikan secara unik lewat potensi potretiknya yang liat. Noerdhami dengan hasratnya untuk terus mengolah elemen gambar dami sebagai ciri karyanya. Paul Hendro yang mengangkat sisi kehidupan masyarakat urban dengan bahasa surealis. Sapto Sugiyo Utomo dengan sensibilitasnya dalam menangkap benda sederhana sebagai materi narasi, lewat kemampuannya melukis super-realis. Teguh Wiyatno merekam dan merangkum peristiwa dalam kekuatan gambar yang digubah oleh kekuatan melukis cat air.

Kita tahu, pada saat ini para pelukis terbaik di atas sedang menjadi bagian yang sangat terhargai di tengah masyarakat seni rupa Indonesia dan internasional. Namanya selalu dijumput dan diposisikan sebagai bendera nilai di berbagai pameran. Manifestasinya diwacanakan, dan wacana karyanya dibicarakan. Sementara itu, sebagai dampaknya, dalam dunia komodifikasi seni di aneka galeri dan biro lelang karya-karya mereka mencatatkan angka-angka terhormat.

Pameran ini akan menyadarkan kita bahwa sebuah kompetisi bisa hadir begitu penting ketika para juara dari kompetisi itu akhirnya memberikan aksentuasi dalam percaturan seni di tengah masyarakatnya. Dengan menyadari nilai-nilai penting sebuah kompetisi, kita lalu mengingat, sesungguhnya betapa minim iklim kompetisi seni rupa yang ada di Indonesia. Untuk itu tiada salahnya apabila wacana kemiskinan kompetisi ini, yang membawa minimnya penghargaan seni, ditegaskan lewat alinea-alinea di bawah ini. Lewat beberapa contoh kejadian, lewat beberapa catatan kesejarahan.

Mencari catatan reputasi.
Syahdan pada suatu kali panitia pameran The Best of Asia berkehendak memamerkan 80 lukisan buah cipta pelukis-pelukis Indonesia. Lukisan tersebut akan digelar di Changi Airport, bandar udara Singapura yang dikunjungi hampir 2 juta orang per bulannya itu. Salah satu syarat yang diminta panitia adalah, kurator harus mengajukan pelukis yang telah mengantongi sejumlah penghargaan penting dalam 5 tahun terakhir. Makin banyak penghargaan, semakin baik.

Persyaratan ini tentu merupakan sesuatu yang lumrah. Itu sebabnya institusi pameran di Tiongkok, Taiwan, Australia, Prancis, Itali, Jepang, Korea Selatan sampai Kuba juga meminta hal yang sama. Daftar penghargaan bagi panitia internasional merupakan tahap awal pemantauan kredibilitas seniman yang disertakan. Tanpa itu, keabsahan dan kepiawaian seniman memang lantas gampang diragukan.

Tapi persyaratan tersebut bagi kurator seni lukis (rupa) Indonesia, sungguhlah pekerjaan sulit. Sebabnya adalah karena tradisi memberi penghargaan di sini belum ada. Dan dengan begitu, frekuensi hadirnya penghargaan atau hadiah juga sangatlah jarang. Walaupun dunia seni rupa kita, terutama seni lukis, memiliki potensi yang amat besar untuk selalu dianugerahi penghargaan-penghargaan yang termaksud.

Apa sebab seni rupa Indonesia sangat pelit penghargaan, faktornya perlu ditelusuk dalam-dalam. Namun penyebab utamanya adalah berkait dengan mentalitas orang-orang yang seyogyanya memberikan penghargaan. Faktor feodalitas, bahwa yang punya posisi (tua, ternama, senior, berpangkat, established) sebagai satu-satunya insan yang harus disanjung dan dihormati, adalah bagian dari hambatan munculnya hadiah-hadiah seni itu. Ini mirip dengan ketidaksediaan mereka dalam menerima kritik. Kerendah-hatian dan kebesaran jiwa yang menjadi modal nyata tersisih setelah dirangsek oleh sifat yang tak mau kalah.

Sifat feodalisme demikian memang tidak membawa seseorang ke wilayah hati yang mau terbuka, dan sudi mencermati karya-karya seniman yang secara hirarkis dianggap berada di bawahnya. Apresiasi dan toleransi pun lantas macet. Minat untuk memberikan hadiah seni pun lalu amat berat untuk muncul.

Sebagai ilustrasi, pada tahun 1990-an kantor kesenian milik pemerintah Indonesia mendapat surat menarik dari sebuah lembaga seni rupa internasional. Surat formal itu berupa tawaran untuk memilih perupa muda Indonesia yang berprestasi, guna dicalonkan mendapat “penghargaan seni rupa Asia”, dengan hadiah uang sebesar 20 ribu dollar. Sebagaimana biasanya, Direktur Kesenian meminta saran kepada sejumlah perupa senior Indonesia ihwal sistem pemilihan perupa muda berprestasi itu.

Hasil dari sumbang saran yang ditampung ternyata mengecewakan. Sebab sebagian perupa senior justru “menolak” tawaran hadiah tersebut. Salah satu alasannya adalah : jumlah hadiahnya terlalu besar untuk seorang perupa muda. Perbandingannya, kata para perupa senior itu, hadiah biennale seni lukis Dewan Kesenian Jakarta (untuk pelukis senior) saja cuma sepersepuluhnya.

Untung lembaga dari Departemen P dan K ini jalan terus, meski akhirnya pencalonan tersebut menjadi terlambat. Dan nama pelukis muda Indonesia didiskualifikasi.

Sementara itu difahami bahwa sebuah hadiah untuk karya seni rupa sesungguhnya adalah tidak perlu diukur dari bentuk materinya. Namun dari isinya, hasratnya untuk menjunjung, mengakui dan mengesahkan. Karenanya, cukup tak masuk akal apabila ada lembaga yang enggan memberikan penghargaan kepada sebuah prestasi hanya karena alasan : tidak ada dana.

Hanya dua.
Di Indonesia kini hanya ada 2 kepanitiaan yang berkenan memberikan penghargaan kepada para perupa. Yakni Jakarta Art Awards yang sudah berlangsung 2 kali, tahun 2006 dan 2008, yang merupakan kelanjutan dari Golden Palette 2005. Penghargaan kompetititif ini digagas oleh Pasar Seni Ancol dengan dukungan Pemerintah DKI Jakarta, yang notabene Gubernur Fauzi Bowo. Lalu Indonesia Art Awards, yang juga diberikan 2 tahun sekali oleh Yayasan Seni Rupa Indonesia, sebagai titisan dari Indonesia Philip Morris Art Awards.

Pada tingkat perguruan sangat sedikit yang rutin memberikan hadiah seni rupa, yakni panitia Pratisara Affandi Adi Karya, di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Dan kadang-kadang Institut Kesenian Jakarta juga membagikan. Hadiah ini diberikan setelah melewati sebuah kompetisi dalam forum pameran. Tradisi penghargaan prestasi ini setidaknya meneruskan Wendy Sorensen Memorial Award dari New York yang diberikan untuk mahasiswa seni rupa Indonesia yang memiliki reputasi bagus, dan berada di kubah perguruan ASRI Yogyakarta dan ITB Seni Rupa Bandung. Sekali waktu Sanggar Dewata juga memberikan penghargaan kepada perupa yang dianggap memiliki kontribusi seni signifikan.

Indonesia memang sangat irit untuk pengeluarkan pengakuan atas reputasi para perupanya sendiri. Padahal sejumlah institusi telah berusaha memberikan contoh menarik. Jauh ke belakang, Bataviasche Kunstkring (Lingkaran Seni Batavia) pada tahun 1930-an telah memberikan penghormatan kepada karya-karya lukis terbaik, lewat pagelaran bondcollectie, atau pameran karya pelukis yang dikumpulkan dari aneka kunstkring berbagai daerah. Keimin Bunda Sidhoso, atau pusat kebudayaan era Jepang 1942-1945, juga memberikan banyak hadiah kepada lukisan terbaik karya seniman-seniman Indonesia.

Setelah terputus puluhan tahun, pada kurun 1974 Dewan Kesenian Jakarta mulai memberikan penghargaan kepada para pelukis yang ikut dalam Biennale Seni Lukis Indonesia di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Meski pada tahun 1990-an tradisi ini serta merta berhenti.

Lebih dari 30 tahun silam The Society for American Indonesian Friendship memberikan hadiah kepada para perupa yang mempunyai dedikasi dan reputasi menawan. Hal ini lantas diikuti oleh Yayasan Adam Malik, yang sekali-sekali memberikan penghargaan kepada figur dunia seni rupa yang memiliki bobot. Dewan Kesenian Jakarta memberikan hadiah kepada seni lukis terbaik lewat acara Biennale Seni Lukis Indonesia. Kita juga sempat mengingat, tahun 1990-an pernah sekali waktu McDonald serta Nokia memberikan McDonald Art Awards dan Nokia Art Awards. Dan pada 2002 serta 2003 digelar kompetisi seni lukis nasional Indofood Art Awards yang diprakarsai CEO progresif Eva Rianti Hutapea. Tapi perhelatan yang sedikit itu kini nampaknya hanya merupakan catatan masa manis belaka, lantaran semuanya tidak lagi berlanjut.

Realitas ini amat berbeda dengan yang terjadi di mancanegara, yang menjadikan pemberian penghargaan sebagai tradisi. Sehingga seorang pelukis muda semacam Stephen Yao, kelahiran 1960, bisa mengantungi belasan penghargaan dari negerinya Hongkong. Pelukis senior Amerika (alm) Dong Kingman mempunyai 75 penghargaan prestisius selama hidupnya. Para perupa muda berprestasi Singapura, disemati medali dalam setiap tahun lewat sebuah (iklim) kompetisi. Pelukis Berber dari Bosnia punya tak kurang dari 30 penghargaan seni dari eks Yugoslavia dan sekitarnya. Begitu pula pelukis Edo Murtic dari Kroasia, yang di Indonesia tak terlalu terkenal, penghargaan resminya tak dapat ditaruh dalam sebuah halaman katalogus. Jangan kata yang terjadi pada para pelukis Tiongkok.

Di Perancis, iklim kompetisi seni rupa bisa berlangsung puluhan kali dalam setahun. Persis seperti musim pertandingan sepak bola yang gemuruh itu. Begitu juga di Jepang. Bahkan di negeri ini setiap kompetisi internasional selalu menyediakan hadiah khusus bagi para perupa Jepang. Sehingga, apabila ada pelukis asing yang memenangkan kompetisi, Jepang juga mengangkat pelukis Jepang sebagai pemenang pendamping. Realitas aktual akan hal ini bisa dilihat pada kompetisi seni rupa di Beppu, yang sering diikuti oleh perupa Indonesia.

Lantaran itu, perupa sekualitas Sunaryo dan Dede Eri Supria paling-paling mempunyai 7 penghargaan penting dalam 25 tahun terakhir. Itu pun sebagian datang dari luar negeri, yang dengan susah payah diupayakan oleh pelukisnya sendiri. Bahkan seniman berdedikasi tinggi seperti Basoeki Abdullah, Sudjana Kerton, Hendra Gunawan, Dullah, Lee Man-Fong amat jarang atau belum disentuh penghargaan, sampai semua sudah tutup usia.

Menghargai penghargaan.
Yang unik, di Indonesia tak hanya tradisi memberikan hadiah yang tidak ada. Tradisi menghargai hadiah juga sangatlah kurang. Pada tahun 1985 Doyo Prawito yang mengantungi belasan hadiah dari Eropa Barat, ditolak pameran di Taman Ismail Marzuki. Alasannya, kredibilitas Doyo Prawito masih dianggap kurang, karena belum memiliki penghargaan dari Indonesia. Pun ketika ia menunjukkan salah satu tropi yang direnggutnya, Oscar di Montecarlo, hadiah prestisius yang juga pernah diberikan kepada Marc Chagall, Salvador Dali, sutradara Carlo Ponti, bintang film Alain Delon.

Barangkali sekarang sudah saatnya mentalitas untuk memberikan penghargaan dan menghargai penghargaan ditumbuhkan. Kini tiba waktunya dibentuk institusi penilai, entah itu dari museum, pendidikan tinggi, galeri, lembaga pemerintah atau forum seni rupa lainnya. Kemauan memberikan hadiah seni, baik untuk lingkup akademi, profesional yunior, senior, kampiun, dengan berbagai kategorisasi, layak ditradisikan.

Semakin banyak semakin baik. Dan selama semuanya tetap bersandar kepada kritera obyektif, sehingga yang diputuskan bukan rekayasa klik, kelompok atau golongan tertentu, tradisi ini akan menghangatkan iklim. Dan iklim akan menstimulasi munculnya motivasi-motivasi baru dalam berkarya. Dampak lanjut dari segalanya adalah : memudahkan internasionalisasi karya-karya seni rupa kita.

Pameran “The Running Stars” ini adalah upaya Pasar Seni Ancol dan North Art Space untuk menghargai penghargaan yang sudah dicapai oleh para perupa. Karena bagi para perupa, penghargaan adalah tanda-tanda pencapaian hidup yang akan terus disimpan dalam dokumentasi keluarga dalam sepanjang hayat. Sementara bagi publik, penghargaan yang dimiliki perupa adalah bagian dari pencapaian bangsa, lantaran perupa adalah anak terhormat dari sebuah bangsa. ***

Agus Dermawan T.
Kritikus, penulis buku-buku seni rupa.

Tidak ada komentar: